Originally created by Fu
suatu episode hidup...
Kita tak pernah memahami benar cara Tuhan membentangkan jalan untuk kita tapaki. Tak aral melelah jengah pun menyedih perih. Meski liku yang memilu hingga puncak yang menyentak tak henti mengerjap, nyatanya tak pernah mampu membuat kita mundur jua menyerah. Karena lapang yang membentang telah Tuhan sediakan di ujung sana, tersambut dekapan hangat yang terbalut cahaya berpanjang gelombang tak hingga. Tak mudah memang melewati keterjalan yang belum menghujung ini, namun nyatanya Tuhan pun tak pernah mempersulitnya.
Tuhan yang berkuasa, Tuhan yang punya segalanya. Seperti Ia yang menciptakan cahaya untuk bersanding dengan kegelapan, agar buta tak dijadikan alasan dan kompas tak dijadikan patokan. Setidaknya peta yang tertunjuk dapat kita susuri, atau hanya sekadar untuk melihat tanah yang akan kita jejaki. Cahaya. Yang rupanya tak pernah dapat kita sentuh, yang panjangnya tak pernah dapat kita hitung. Namun, kilaunya setiap detik kita nikmati, meski acap kali lupa kita syukuri.
Kita selalu berceloteh tentangnya, meski kita tak mengetahui darimana ia bermula dan dimana ia akan berakhir. Namun Tuhan tak pernah menetapkan ia sebagai zat ataupun benda, yang dihantarkan alam ataupun makhluk. Tuhan menjadikannya sebentuk karunia, yang kita rasakan menusuk pori hingga menembus hati, jua menenang pikiran hingga melega perasaan. Ya, cahaya itu karunia. Pun bila ia Tuhan hadirkan dalam sewujud makhluk sempurnanya.
Kau datang pada suatu senja yang merona. Di dunia yang dipenuhi lafadz ampun –di tempat akal dipaksa tak rasional dan etika tak berlogika merajalela, semua itu bermula. Waktu satu dua tahun ternyata tak lantas mengakrabkan kita, pada pandangan yang nyatanya bersinggungan dan pemikiran yang sesungguhnya berikatan. Justru kita menemukannya selepas mata sulit untuk bersua, pada asa yang saling merapat, pada cita yang saling memahat, pada ketinggian imaji yang terus melesat. Kau datang sebagai cahaya yang memantul, berbaur, memburai, dan berpendar.
Ada cinta yang menyapa, ketika air mata kau ganti dengan embun pagi dan amarah kau tutup dengan mata terkatup. Ada rindu yang merayap, saat tak ada kata terucap, tak ada pesan tersimpan pun tak ada kabar tersiar. Kita seperti dua hati yang serupa atau dua rupa yang sehati, dari terbuang kaum mayoritas hingga melawan diri sendiri. Kau yang tegar menasehatiku dengan sabar, kau yang bersahaja mengajariku sederhana, kau yang membantuku menghafal bahwa : “Skenario di setiap episode kehidupan yang kita alami adalah sebuah amanah yang telah Dia percayakan pada kita. Buruk yang menimpa bukanlah berarti buruk. Baik yang menghampiri pun tidak selalu berarti baik. Jika saat ini ujian yang menimpa begitu menyita hati, itu bukan berarti buruk dan kita mampu. Tapi mata kita masih terbatas melihat arti kebaikan yang Dia berikan.”
Masih ingatkah kau Kak, saat aku menolak permintaan untuk menjadi cahayamu? “Jadilah cahayaku sekalipun kau anggap aku menerangimu, karena terkadang lelah dan istiqomah adalah dua hal yang tak terpisah!” Kita berjalan bersama, sesekali bertepian, bersentuhan atau saling melengkapi. Area yang berbeda tak lantas menjadikan kita saling melupa, meski jarak dan waktu yang memisah tak jua mau mengalah.
Kau adalah cahaya itu, Kak. Seperti katamu, bahwa darah yang sealiran bukan menjadi jaminan kesepahaman, muasal yang tak sekandung bukan berarti tak kan ada sinambung. Karena kita sama bernenek moyang Bunda Hawa, karena kita saudara dari Rasul tercinta. Karena tak perlu alasan atas timbulnya kasih sayang, karena tak perlu kata untuk menggegaskan hati yang berbincang. Cukup kau tahu bahwa hadirmu mewarnaiku, meski aku hanya mampu membalasmu warna kelabu. Cukup kita tahu, bahwa dunia tak selamanya tempat kita, meski keberadaannya telah mempertemukan kita. Kemudian aku hanya bisa menengahkan pada Tuhan satu doa, untuk berjumpa denganmu hingga di surga. Karena dirimu, salah satu cahaya cintaku.
Teruntukmu, cahaya :
tetaplah di sana, menyilau dunia dengan gelombangmu
walau sekadar berkawan udara
tetaplah di situ, membunuh gelap dengan pesonamu
walau sekadar menelan sendu
namun sesekali,
datanglah ke sini, memendar hati dengan kelembutanmu
walau sekadar menepi pelangi
di hatiku
: untuk secercah cahaya cantik yang terjanji surga, laiknya Hajar yang mulia dan Asiah yang istimewa.
Bandung, 26 Mei 2011
-turut bersedih dengan berkurangnya usia sekaligus bahagia akhirnya menginjak dua tiga. ^^,
*by request, kado kecil untuk Tetehku yang sedang milad hari ini, yang cantik jelita dan baik hatinya. Afwan tidak bisa memberi yang istimewa… ^^, ( Spontanitas di selingi melayani pasien, ;p)
*Ada yang mau dibuatin? Hehe...
suatu episode hidup...
Kita tak pernah memahami benar cara Tuhan membentangkan jalan untuk kita tapaki. Tak aral melelah jengah pun menyedih perih. Meski liku yang memilu hingga puncak yang menyentak tak henti mengerjap, nyatanya tak pernah mampu membuat kita mundur jua menyerah. Karena lapang yang membentang telah Tuhan sediakan di ujung sana, tersambut dekapan hangat yang terbalut cahaya berpanjang gelombang tak hingga. Tak mudah memang melewati keterjalan yang belum menghujung ini, namun nyatanya Tuhan pun tak pernah mempersulitnya.
Tuhan yang berkuasa, Tuhan yang punya segalanya. Seperti Ia yang menciptakan cahaya untuk bersanding dengan kegelapan, agar buta tak dijadikan alasan dan kompas tak dijadikan patokan. Setidaknya peta yang tertunjuk dapat kita susuri, atau hanya sekadar untuk melihat tanah yang akan kita jejaki. Cahaya. Yang rupanya tak pernah dapat kita sentuh, yang panjangnya tak pernah dapat kita hitung. Namun, kilaunya setiap detik kita nikmati, meski acap kali lupa kita syukuri.
Kita selalu berceloteh tentangnya, meski kita tak mengetahui darimana ia bermula dan dimana ia akan berakhir. Namun Tuhan tak pernah menetapkan ia sebagai zat ataupun benda, yang dihantarkan alam ataupun makhluk. Tuhan menjadikannya sebentuk karunia, yang kita rasakan menusuk pori hingga menembus hati, jua menenang pikiran hingga melega perasaan. Ya, cahaya itu karunia. Pun bila ia Tuhan hadirkan dalam sewujud makhluk sempurnanya.
Kau datang pada suatu senja yang merona. Di dunia yang dipenuhi lafadz ampun –di tempat akal dipaksa tak rasional dan etika tak berlogika merajalela, semua itu bermula. Waktu satu dua tahun ternyata tak lantas mengakrabkan kita, pada pandangan yang nyatanya bersinggungan dan pemikiran yang sesungguhnya berikatan. Justru kita menemukannya selepas mata sulit untuk bersua, pada asa yang saling merapat, pada cita yang saling memahat, pada ketinggian imaji yang terus melesat. Kau datang sebagai cahaya yang memantul, berbaur, memburai, dan berpendar.
Ada cinta yang menyapa, ketika air mata kau ganti dengan embun pagi dan amarah kau tutup dengan mata terkatup. Ada rindu yang merayap, saat tak ada kata terucap, tak ada pesan tersimpan pun tak ada kabar tersiar. Kita seperti dua hati yang serupa atau dua rupa yang sehati, dari terbuang kaum mayoritas hingga melawan diri sendiri. Kau yang tegar menasehatiku dengan sabar, kau yang bersahaja mengajariku sederhana, kau yang membantuku menghafal bahwa : “Skenario di setiap episode kehidupan yang kita alami adalah sebuah amanah yang telah Dia percayakan pada kita. Buruk yang menimpa bukanlah berarti buruk. Baik yang menghampiri pun tidak selalu berarti baik. Jika saat ini ujian yang menimpa begitu menyita hati, itu bukan berarti buruk dan kita mampu. Tapi mata kita masih terbatas melihat arti kebaikan yang Dia berikan.”
Masih ingatkah kau Kak, saat aku menolak permintaan untuk menjadi cahayamu? “Jadilah cahayaku sekalipun kau anggap aku menerangimu, karena terkadang lelah dan istiqomah adalah dua hal yang tak terpisah!” Kita berjalan bersama, sesekali bertepian, bersentuhan atau saling melengkapi. Area yang berbeda tak lantas menjadikan kita saling melupa, meski jarak dan waktu yang memisah tak jua mau mengalah.
Kau adalah cahaya itu, Kak. Seperti katamu, bahwa darah yang sealiran bukan menjadi jaminan kesepahaman, muasal yang tak sekandung bukan berarti tak kan ada sinambung. Karena kita sama bernenek moyang Bunda Hawa, karena kita saudara dari Rasul tercinta. Karena tak perlu alasan atas timbulnya kasih sayang, karena tak perlu kata untuk menggegaskan hati yang berbincang. Cukup kau tahu bahwa hadirmu mewarnaiku, meski aku hanya mampu membalasmu warna kelabu. Cukup kita tahu, bahwa dunia tak selamanya tempat kita, meski keberadaannya telah mempertemukan kita. Kemudian aku hanya bisa menengahkan pada Tuhan satu doa, untuk berjumpa denganmu hingga di surga. Karena dirimu, salah satu cahaya cintaku.
Teruntukmu, cahaya :
tetaplah di sana, menyilau dunia dengan gelombangmu
walau sekadar berkawan udara
tetaplah di situ, membunuh gelap dengan pesonamu
walau sekadar menelan sendu
namun sesekali,
datanglah ke sini, memendar hati dengan kelembutanmu
walau sekadar menepi pelangi
di hatiku
: untuk secercah cahaya cantik yang terjanji surga, laiknya Hajar yang mulia dan Asiah yang istimewa.
Bandung, 26 Mei 2011
-turut bersedih dengan berkurangnya usia sekaligus bahagia akhirnya menginjak dua tiga. ^^,
*by request, kado kecil untuk Tetehku yang sedang milad hari ini, yang cantik jelita dan baik hatinya. Afwan tidak bisa memberi yang istimewa… ^^, ( Spontanitas di selingi melayani pasien, ;p)
*Ada yang mau dibuatin? Hehe...
0 komentar:
Posting Komentar