Originally created by Fu
Dulu, kau tak marah ketika aku meminta izin padamu pergi sebentar keluar rumah. Mencari sebaris ilmu yang tergores di tanah basah, juga rimbun dedaunan yang menengadah. Saat itu, cukup kau tahu bahwa aku meninggalkanmu dengan sepoles senyum yang memancar. Tak perlulah kau sadar bahwa sesungguhnya hatiku tengah gemetar, juga air mataku berjejal ingin keluar.
Dulu, kau tak marah ketika aku meminta izin padamu pergi sebentar keluar rumah. Mencari sebaris ilmu yang tergores di tanah basah, juga rimbun dedaunan yang menengadah. Saat itu, cukup kau tahu bahwa aku meninggalkanmu dengan sepoles senyum yang memancar. Tak perlulah kau sadar bahwa sesungguhnya hatiku tengah gemetar, juga air mataku berjejal ingin keluar.
“Aku tak suka coklat.” Itulah komentarmu saat aku membuatkan muffin coklat di suatu sore dengan jingga yang memucat. Padahal, kau tahu bahwa aku begitu suka coklat, sebuah rasa yang selalu membuatku terpikat. Ah, aku lupa bahwa tentulah kita tak selalu sama berkehendak, sama halnya dengan dunia kita yang beda berarak, meski sama-sama bergerak.
Dari tanah, aku tahu beda coklat dengan vanilla, juga pandan dengan mocca. Dari dedaunan, aku tahu beda selai kacang dan strawberry, juga selai nanas dan blueberry. Semuanya berbeda, semuanya beraneka, semuanya sesuai porsinya. Tak bisa dicampur sekenanya dan seenaknya. Sama halnya dengan ungkapanmu yang telah menggores hati. Yang kau ucapkan tanpa menolehkan wajahmu sama sekali, karena kesibukan yang kau geluti sendiri.
“Aku tak suka muffin.” Itulah komentarmu saat aku membuatkan muffin vanilla juga mocca. Dan itu juga yang kau lontarkan pada muffin strawberry juga blueberry. Aku tak tahu apa maumu, setidak tahu aku mengenai isi pikiranmu.
“Aku tak suka coklat. Aku tak suka muffin. Aku juga tak suka muffin coklat. Tapi, aku suka sekali semua yang kau buat dengan tanganmu, apapun itu. Bukan hanya satu, melainkah dua, tiga, empat ataukah tujuh, untuk menemaniku.”
Aku terdiam bungkam. Tak bisa mencerna yang terrekam.
“Aku hanya tak mau kau berpuas diri atas apa yang kau ikhtiarkan, seperti muffin yang mengembang dan berhenti pada puncak tertentu yang riskan.”
-ketika dunia diliputi muffin-
Februari, 2011
*This is for you, a... ^^,
0 komentar:
Posting Komentar