Originally created by Fu
Langit memutar lagu sendu. Menghantar kepergianmu dalam malam yang masih menguap, juga tungku perapian yang masih berasap. Tak ada lagi air mata menghujani bumi, meski mendung masih enggan pergi. Kau telah berkemas sejak siang, melupakan luka tanganmu yang masih meradang. Sementara aku menyemai buih dalam pijakan yang tertatih. Mengatur sorot mata yang mengerling, juga meniup-niup hati yang sejenak tirah baring.
“Kau tak bersedih?” tanyamu pelan,
“Langit tak pernah salah memutar pesona yang tersimpan, ia tak bisa memilih matahari ataukah rembulan, karena ia hanya layar yang memantul proyektor Tuhan.”
Kau diam sejenak, “Seperti ia juga yang tak bisa memilih lokasi salju, hujan, ataukah pelangi. Karena sesungguhnya ia kepekatan hitam yang pasti.”
“Mensyukuri cahaya yang Tuhan beri.”
“Apa yang sekarang ingin kau lihat di langit?” tanyamu sambil mengikat tali sepatu.
“Aku ingin melihat keindahan salju.”
“Itu tak mungkin, disini hanya ada hujan.” balasmu memasang ransel di punggungmu.
“Aku tak ingin apa-apa.”
“Kenapa?” tanyamu membenarkan kaca mata.
“Aku hanya ingin menerima apa yang langit berikan, entah itu mendung atau awan, pelangi atau hujan. Karena itulah keindahan, sebuah penerimaan, bukan lagi keinginan.”
Langit masih memutar lagu sendu, ketika aku selesai mengusap kedua tangan di wajahku.
Majalengka, Maret 2011
*Puisi ini tiba-tiba melintas begitu saja, entah karena apa... for u.. ^^,
Langit memutar lagu sendu. Menghantar kepergianmu dalam malam yang masih menguap, juga tungku perapian yang masih berasap. Tak ada lagi air mata menghujani bumi, meski mendung masih enggan pergi. Kau telah berkemas sejak siang, melupakan luka tanganmu yang masih meradang. Sementara aku menyemai buih dalam pijakan yang tertatih. Mengatur sorot mata yang mengerling, juga meniup-niup hati yang sejenak tirah baring.
“Kau tak bersedih?” tanyamu pelan,
“Langit tak pernah salah memutar pesona yang tersimpan, ia tak bisa memilih matahari ataukah rembulan, karena ia hanya layar yang memantul proyektor Tuhan.”
Kau diam sejenak, “Seperti ia juga yang tak bisa memilih lokasi salju, hujan, ataukah pelangi. Karena sesungguhnya ia kepekatan hitam yang pasti.”
“Mensyukuri cahaya yang Tuhan beri.”
“Apa yang sekarang ingin kau lihat di langit?” tanyamu sambil mengikat tali sepatu.
“Aku ingin melihat keindahan salju.”
“Itu tak mungkin, disini hanya ada hujan.” balasmu memasang ransel di punggungmu.
“Aku tak ingin apa-apa.”
“Kenapa?” tanyamu membenarkan kaca mata.
“Aku hanya ingin menerima apa yang langit berikan, entah itu mendung atau awan, pelangi atau hujan. Karena itulah keindahan, sebuah penerimaan, bukan lagi keinginan.”
Langit masih memutar lagu sendu, ketika aku selesai mengusap kedua tangan di wajahku.
Majalengka, Maret 2011
*Puisi ini tiba-tiba melintas begitu saja, entah karena apa... for u.. ^^,
0 komentar:
Posting Komentar