Originally created by Fu
Sebuah surat terperangkap (lagi!)
Assalamu’alaykum wr wb
Yabi, bagaimana kabarmu? Aku hanya selalu berharap kau berada dalam keadaan yang baik, melalui beberapa tangkup doa yang selalu kuhantar untukmu. Agar Allah senantiasa menjagamu, melancarkan segala urusanmu, juga memberkahi setiap jejak langkahmu.
Yabi, sudah lama rasanya kita tak bertutur bersama meski hanya sekadar berdebat jumlah bintang di langit malam ini. Atau juga menerka-nerka bentuk rembulan mulai dari sabit hingga purnama lagi. Atau juga menikmati sajian langit malam dengan diam tanpa komentar sama sekali. Tapi tahukah kamu bahwa dari situlah kita sama-sama menyelam, memaknai yang kau suka dan tak dapat aku rekam, merasai yang kusuka dan tak dapat kau tilam. “Aku suka, karena kau suka.” katamu pelan.
Yabi, aku lebih memilih untuk amnesia sejenak bila mencoba mengingat bagaimana aku mengenalmu. Seperti yang aku adukan padamu di suatu malam, bahwa aku masih saja belum mengerti bagaimana aturan perkenalan lelaki dan perempuan dalam Islam. Dimana aku tengah kebingungan diantara berbagai jawaban dan petuah, bahwa itu fitrah, bahwa itu lumrah, bahwa itu absah, dan berpura-pura tidak tahu bahwa itu cara jahiliyah. Tidakkah aku terlalu berlebihan bila nyatanya penjagaan pandangan, hati dan lisan telah tergantikan, oleh pesan mengudara yang sekenanya dikirim dengan alasan kekaguman. Tidakkah aku terlalu idealis bila nyatanya fakta itu datang dari mereka yang mengaku aktivis, yang berkoar teori toleransi logis, namun mengkonsumsi pil kewajaran overdosis. “Mari bersujud, karena hanya Allah lah yang mengetahui seberapa munafik hati kita.” katamu menitikkan air mata.
Yabi, aku tak pernah menyesal telah bertemu denganmu, melainkan berucap syukur bahwa Allah telah memberikanmu untukku. Seperti yang telah aku tuturkan, bahwa untuk meyakinkan keputusan padamu perlu kejernihan hati dan keluasan pikiran, juga tak hingga istigfar pada niat dalam ketulusan. Dimana aku harus menjelaskan pada bunda bahwa yang berjanggut tipis bukan berarti fanatik atau bahkan teroris, yang bercelana bahan bukan berarti tak punya celana jeans melainkan sebuah kesederhanaan. Tidakkah aku terlalu aneh bila nyatanya yang tampak sempurna tak aku toleh. Karena yang tampan berbalut kebanggaan hanya akan mencintaiku diwaktu muda, yang kaya berbalut kesombongan hanya akan menganggapku sebagai beban nafkah saja. Tidakkah aku terlalu fanatik bila nyatanya yang tampak baik tak aku lirik. Karena yang bangsawan berbalut warisan hanya akan memajangku layaknya boneka, yang bergelar dai berbalut sorban hanya akan merebutku dari Allah pemilik jiwa. “Mari bersujud, karena hanya Allah lah yang mengetahui seberapa rendah derajat kita.” katamu menitikkan air mata.
Yabi, mungkin aku yang terlalu menuntutmu sempurna, untuk menjadi suami, ayah, kakak atau terkadang adik yang manja. Seperti yang sudah kau tahu, bahwa aku tak terlalu mengerti dan memahami jalan pemikiran kaummu, mungkin karena aku tak pernah berani bertanya pada ayah seperti apa lelaki yang baik itu. Bahkan sampai saat ini aku tidak memahami apa hubungan lelaki dan buaya, karena sepanjang hidup aku disuguhkan penampakkan seorang lelaki seperti ayah yang begitu setia. Tidakkah aku terlalu pemilih bila nyatanya untuk menantimu itu terkadang membuat tubuhku letih atau berjalan tertatih, hanya berbekal nasihat bunda yang berpesan lirih, “Hati-hati pada lelaki yang menyebar jaring pada beberapa wanita, lalu di suatu saat memilih yang paling pas menurutnya. Jangan percaya pada lelaki yang mengobral janji, karena lelaki yang baik itu adalah yang memikir berkali-kali segala konsekuensi, yang memilih diam dalam kesabaran, atau berani membuat keputusan, dengan jalan yang Allah halalkan serta rasul teladankan.” Tidakkah aku terlalu keras kepala bila nyatanya memilihmu tak semudah yang aku kira, karena perlu keselarasan hati, pikiran dan jiwa, hanya berbekal nasihat ayah yang berpesan secara seksama, “Lelaki shalih itu banyak jumlahnya, namun yang terbaik untukmu hanya satu saja. Oleh karena itu jangan tergesa-gesa membuat keputusan, jangan pula mengulur-ngulur keputusan hanya karena perasaan. Karena wanita yang baik itu adalah yang tak mendahului ketetapan Tuhan, yang memilih malu mengungkap fitrah perasaan, atau menerima dan memutuskan.”
Yabi, maafkan aku yang mungkin telah menyakiti hatimu karena ketidaksesuaian penempatan perasaan. Aku hanya ingin memastikan bahwa kaulah cermin itu, yang tak hanya memantulkan penampakkan, namun bersama mengadakan perbaikan. Aku ingin meyakinkan bahwa kau memang memilih segala kekuranganku. Tidak karena parasku, tidak karena penampilan luarku, tidak karena profesiku, tidak karena apa yang orang bilang tentangku. Karena selain komunikasi, yang penting dalam sebuah pernikahan adalah kepercayaan dan kerelaan. -Kepercayaan untuk belajar mengenal tiada henti, karena pernikahan bukanlah akhir dari sebuah perkenalan, melainkan awal sejatinya sebuah pengenalan. Kerelaan untuk menerima segala aib diri, karena pernikahan merupakan kesediaan untuk saling menerima yang sebelumnya tak terdengar, terlihat, terraba, bahkan terrasakan, yang mungkin jauh dari segala impian. “Mari bersujud, karena hanya Allah lah yang mampu menyatukan, membimbing, serta menguatkan hati kita.” katamu menitikkan air mata.
Yabi, mungkin aku tak sepenuhnya menjadikan cinta sebagai alasan menikah denganmu, namun izinkan aku menjadikan pernikahan sebagai alasan untuk mencintaimu. Insya Allah...
Kemarin, Maret 2011
Menelisik embun yang tak ditemui fajar tadi
Sebuah surat terperangkap (lagi!)
Assalamu’alaykum wr wb
Yabi, bagaimana kabarmu? Aku hanya selalu berharap kau berada dalam keadaan yang baik, melalui beberapa tangkup doa yang selalu kuhantar untukmu. Agar Allah senantiasa menjagamu, melancarkan segala urusanmu, juga memberkahi setiap jejak langkahmu.
Yabi, sudah lama rasanya kita tak bertutur bersama meski hanya sekadar berdebat jumlah bintang di langit malam ini. Atau juga menerka-nerka bentuk rembulan mulai dari sabit hingga purnama lagi. Atau juga menikmati sajian langit malam dengan diam tanpa komentar sama sekali. Tapi tahukah kamu bahwa dari situlah kita sama-sama menyelam, memaknai yang kau suka dan tak dapat aku rekam, merasai yang kusuka dan tak dapat kau tilam. “Aku suka, karena kau suka.” katamu pelan.
Yabi, aku lebih memilih untuk amnesia sejenak bila mencoba mengingat bagaimana aku mengenalmu. Seperti yang aku adukan padamu di suatu malam, bahwa aku masih saja belum mengerti bagaimana aturan perkenalan lelaki dan perempuan dalam Islam. Dimana aku tengah kebingungan diantara berbagai jawaban dan petuah, bahwa itu fitrah, bahwa itu lumrah, bahwa itu absah, dan berpura-pura tidak tahu bahwa itu cara jahiliyah. Tidakkah aku terlalu berlebihan bila nyatanya penjagaan pandangan, hati dan lisan telah tergantikan, oleh pesan mengudara yang sekenanya dikirim dengan alasan kekaguman. Tidakkah aku terlalu idealis bila nyatanya fakta itu datang dari mereka yang mengaku aktivis, yang berkoar teori toleransi logis, namun mengkonsumsi pil kewajaran overdosis. “Mari bersujud, karena hanya Allah lah yang mengetahui seberapa munafik hati kita.” katamu menitikkan air mata.
Yabi, aku tak pernah menyesal telah bertemu denganmu, melainkan berucap syukur bahwa Allah telah memberikanmu untukku. Seperti yang telah aku tuturkan, bahwa untuk meyakinkan keputusan padamu perlu kejernihan hati dan keluasan pikiran, juga tak hingga istigfar pada niat dalam ketulusan. Dimana aku harus menjelaskan pada bunda bahwa yang berjanggut tipis bukan berarti fanatik atau bahkan teroris, yang bercelana bahan bukan berarti tak punya celana jeans melainkan sebuah kesederhanaan. Tidakkah aku terlalu aneh bila nyatanya yang tampak sempurna tak aku toleh. Karena yang tampan berbalut kebanggaan hanya akan mencintaiku diwaktu muda, yang kaya berbalut kesombongan hanya akan menganggapku sebagai beban nafkah saja. Tidakkah aku terlalu fanatik bila nyatanya yang tampak baik tak aku lirik. Karena yang bangsawan berbalut warisan hanya akan memajangku layaknya boneka, yang bergelar dai berbalut sorban hanya akan merebutku dari Allah pemilik jiwa. “Mari bersujud, karena hanya Allah lah yang mengetahui seberapa rendah derajat kita.” katamu menitikkan air mata.
Yabi, mungkin aku yang terlalu menuntutmu sempurna, untuk menjadi suami, ayah, kakak atau terkadang adik yang manja. Seperti yang sudah kau tahu, bahwa aku tak terlalu mengerti dan memahami jalan pemikiran kaummu, mungkin karena aku tak pernah berani bertanya pada ayah seperti apa lelaki yang baik itu. Bahkan sampai saat ini aku tidak memahami apa hubungan lelaki dan buaya, karena sepanjang hidup aku disuguhkan penampakkan seorang lelaki seperti ayah yang begitu setia. Tidakkah aku terlalu pemilih bila nyatanya untuk menantimu itu terkadang membuat tubuhku letih atau berjalan tertatih, hanya berbekal nasihat bunda yang berpesan lirih, “Hati-hati pada lelaki yang menyebar jaring pada beberapa wanita, lalu di suatu saat memilih yang paling pas menurutnya. Jangan percaya pada lelaki yang mengobral janji, karena lelaki yang baik itu adalah yang memikir berkali-kali segala konsekuensi, yang memilih diam dalam kesabaran, atau berani membuat keputusan, dengan jalan yang Allah halalkan serta rasul teladankan.” Tidakkah aku terlalu keras kepala bila nyatanya memilihmu tak semudah yang aku kira, karena perlu keselarasan hati, pikiran dan jiwa, hanya berbekal nasihat ayah yang berpesan secara seksama, “Lelaki shalih itu banyak jumlahnya, namun yang terbaik untukmu hanya satu saja. Oleh karena itu jangan tergesa-gesa membuat keputusan, jangan pula mengulur-ngulur keputusan hanya karena perasaan. Karena wanita yang baik itu adalah yang tak mendahului ketetapan Tuhan, yang memilih malu mengungkap fitrah perasaan, atau menerima dan memutuskan.”
Yabi, maafkan aku yang mungkin telah menyakiti hatimu karena ketidaksesuaian penempatan perasaan. Aku hanya ingin memastikan bahwa kaulah cermin itu, yang tak hanya memantulkan penampakkan, namun bersama mengadakan perbaikan. Aku ingin meyakinkan bahwa kau memang memilih segala kekuranganku. Tidak karena parasku, tidak karena penampilan luarku, tidak karena profesiku, tidak karena apa yang orang bilang tentangku. Karena selain komunikasi, yang penting dalam sebuah pernikahan adalah kepercayaan dan kerelaan. -Kepercayaan untuk belajar mengenal tiada henti, karena pernikahan bukanlah akhir dari sebuah perkenalan, melainkan awal sejatinya sebuah pengenalan. Kerelaan untuk menerima segala aib diri, karena pernikahan merupakan kesediaan untuk saling menerima yang sebelumnya tak terdengar, terlihat, terraba, bahkan terrasakan, yang mungkin jauh dari segala impian. “Mari bersujud, karena hanya Allah lah yang mampu menyatukan, membimbing, serta menguatkan hati kita.” katamu menitikkan air mata.
Yabi, mungkin aku tak sepenuhnya menjadikan cinta sebagai alasan menikah denganmu, namun izinkan aku menjadikan pernikahan sebagai alasan untuk mencintaimu. Insya Allah...
Kemarin, Maret 2011
Menelisik embun yang tak ditemui fajar tadi
0 komentar:
Posting Komentar