Originally created by Fu
Assalamu'alaykum semua. Sekarang ini memang sedang fokus pada beberapa project, so mesti pandai membagi waktu yang tepat untuk menulis. Untuk postingan kali ini, saya posting rangkaian prosa liris yang sebenarnya telah saya tulis tahun kemarin. Namun ternyata belum sempat saya posting di blog ini. Tulisan ini saya persembahkan khususnya untuk kawan muslim/muslimah yang sedang istiqamah "menanti" sembari memperbaiki diri. Semoga bisa melegakan dan menenangkan.
"Yakinlah segala sesuatu indah pada waktunya, setelah seoptimal ikhtiar, seikhlas doa yang sabar, setumpuk tawakkal yang benar." -Fu
Ku menunggu di sini, dalam harap yang tak pernah putus akanmu. Semangkuk air mata telah tumpah semalam, tak bersisa hingga kau yang mereguknya dengan bibir yang telah memasi. Entah kapan ia berubah menjadi tetesan darah yang kan mengaliri pori pipiku yang tak gemuk lagi. Ia selalu air yang asin, katamu. Hingga aku sendiri yang mengacaukan sirkulasi pembuluhnya, atau melukai mataku sendiri hingga buta. Ia selalu bulir, katamu. Hingga aku sendiri yang mengeringkannya dengan menyiksa diri tak terasup apa-apa, atau aku yang terbaring lalu menutupnya selamanya. Ia selalu indah, katamu. Hingga membuatmu bersumpah bahwa setiap tetes yang keluar, akan kau pastikan karena bahagia yang memancar. “Selalu kutunggu indahnya, di setiap malam yang mengerlingkan bulir cinta di sujudmu.” bisikmu mesra.
Ku menunggu di sini, dalam doa yang terus melesat tentangmu. Seember keringat telah aku siramkan ke kebun semalam, tak bersisa hingga kau yang menghabisi tetesnya dengan lidahmu yang telah mengering. Sudah berapa payah yang kukeluhkan akanmu yang telah menyeret aku sejauh ini, memenggal segala ketidakmungkinan dengan yakin yang tak pernah putus. Bulir itu rahmat, katamu. Pun saat benih tak jua menumbuh hingga kuning dan tertuai menjadi beirisi, lalu semakin merunduk dan tengah siap untuk kita petik bersama. Bulir itu berkah, katamu. Pun saat ia kan menjadi saksi seberapa teguh aku memegang tiang penyangga, juga seberapa kuat aku menimba lautan keringat yang tak boleh menguap sia-sia. Bulir itu anugerah, katamu. Pun saat ia keluar dari keningku yang akhir-akhir ini menampakkan garis, yang hanya tak kan tampak karenamu yang membuatku tersenyum manis. “Seanugerah dirimu, yang terindah bagiku.” bisikmu mesra.
Ku menunggu di sini, dalam cinta yang terus kuanyam untukmu. Setitik rindu telah aku titipkan pada purnama semalam, tak kan bersisa karena hanya kupersembahkan untukmu yang senantiasa merindukan diksiku. Telah kuhitung berapa embun yang mengisi setiap fajarku tertolak Tuhan, hanya karenaku yang tak tahu malu menghujati setiap purnama-Nya dengan pertanyaan. Tanpa pernah melirik pada sejuta jawaban yang terungkap dan sejatinya tak kan mampu kudekap. Syukur itu bukan di bibir, katamu. Ia mengejewantah dalam setiap jatuh, rapuh dan keluh yang tak kan henti merayapi, pun di saat setiap hujan yang tak menyisi pelangi. Ia menjadi dialektika terindah di setiap detik yang tak mampu kau kembalikan, pun bila kau merajuk yang paling kencang pada Tuhan. Ia yang harus terbawa di setiap langkah yang menderap tanpa henti, karena berhenti itu hanya di surga nanti. “Tersenyumlah, wajah penghuni surga itu berseri-seri.” bisikmu mesra.
Ku menunggu di sini, menunggu restu Tuhan membiaskan segala, untuk menerbitkan kita.
Bandung, September 2011
*ketika keyakinan harus selalu dipelihara. Semoga selalu istiqamah dalam cara-cara yang Allah suka :)
Assalamu'alaykum semua. Sekarang ini memang sedang fokus pada beberapa project, so mesti pandai membagi waktu yang tepat untuk menulis. Untuk postingan kali ini, saya posting rangkaian prosa liris yang sebenarnya telah saya tulis tahun kemarin. Namun ternyata belum sempat saya posting di blog ini. Tulisan ini saya persembahkan khususnya untuk kawan muslim/muslimah yang sedang istiqamah "menanti" sembari memperbaiki diri. Semoga bisa melegakan dan menenangkan.
"Yakinlah segala sesuatu indah pada waktunya, setelah seoptimal ikhtiar, seikhlas doa yang sabar, setumpuk tawakkal yang benar." -Fu
Ku menunggu di sini, dalam harap yang tak pernah putus akanmu. Semangkuk air mata telah tumpah semalam, tak bersisa hingga kau yang mereguknya dengan bibir yang telah memasi. Entah kapan ia berubah menjadi tetesan darah yang kan mengaliri pori pipiku yang tak gemuk lagi. Ia selalu air yang asin, katamu. Hingga aku sendiri yang mengacaukan sirkulasi pembuluhnya, atau melukai mataku sendiri hingga buta. Ia selalu bulir, katamu. Hingga aku sendiri yang mengeringkannya dengan menyiksa diri tak terasup apa-apa, atau aku yang terbaring lalu menutupnya selamanya. Ia selalu indah, katamu. Hingga membuatmu bersumpah bahwa setiap tetes yang keluar, akan kau pastikan karena bahagia yang memancar. “Selalu kutunggu indahnya, di setiap malam yang mengerlingkan bulir cinta di sujudmu.” bisikmu mesra.
Ku menunggu di sini, dalam doa yang terus melesat tentangmu. Seember keringat telah aku siramkan ke kebun semalam, tak bersisa hingga kau yang menghabisi tetesnya dengan lidahmu yang telah mengering. Sudah berapa payah yang kukeluhkan akanmu yang telah menyeret aku sejauh ini, memenggal segala ketidakmungkinan dengan yakin yang tak pernah putus. Bulir itu rahmat, katamu. Pun saat benih tak jua menumbuh hingga kuning dan tertuai menjadi beirisi, lalu semakin merunduk dan tengah siap untuk kita petik bersama. Bulir itu berkah, katamu. Pun saat ia kan menjadi saksi seberapa teguh aku memegang tiang penyangga, juga seberapa kuat aku menimba lautan keringat yang tak boleh menguap sia-sia. Bulir itu anugerah, katamu. Pun saat ia keluar dari keningku yang akhir-akhir ini menampakkan garis, yang hanya tak kan tampak karenamu yang membuatku tersenyum manis. “Seanugerah dirimu, yang terindah bagiku.” bisikmu mesra.
Ku menunggu di sini, dalam cinta yang terus kuanyam untukmu. Setitik rindu telah aku titipkan pada purnama semalam, tak kan bersisa karena hanya kupersembahkan untukmu yang senantiasa merindukan diksiku. Telah kuhitung berapa embun yang mengisi setiap fajarku tertolak Tuhan, hanya karenaku yang tak tahu malu menghujati setiap purnama-Nya dengan pertanyaan. Tanpa pernah melirik pada sejuta jawaban yang terungkap dan sejatinya tak kan mampu kudekap. Syukur itu bukan di bibir, katamu. Ia mengejewantah dalam setiap jatuh, rapuh dan keluh yang tak kan henti merayapi, pun di saat setiap hujan yang tak menyisi pelangi. Ia menjadi dialektika terindah di setiap detik yang tak mampu kau kembalikan, pun bila kau merajuk yang paling kencang pada Tuhan. Ia yang harus terbawa di setiap langkah yang menderap tanpa henti, karena berhenti itu hanya di surga nanti. “Tersenyumlah, wajah penghuni surga itu berseri-seri.” bisikmu mesra.
Ku menunggu di sini, menunggu restu Tuhan membiaskan segala, untuk menerbitkan kita.
Bandung, September 2011
*ketika keyakinan harus selalu dipelihara. Semoga selalu istiqamah dalam cara-cara yang Allah suka :)
0 komentar:
Posting Komentar