Originally created by Fu
Kemarin malam, saat semua telah terlelap, berselimut dingin yang pekat, ia datang membawa semangkuk senyum yang mengerak. Senyum telah terkikis perlahan oleh keserakahan logika yang bermahkotakan munajat. Logika telah memasung nurani yang telah menyerahkan diri pada ketidakberdayaan takdir yang terlahap. Takdir telah meniupkan puing-puing sua semakin samar, berteka-teki lengangnya jalan yang memudar, untuk aksara yang terserak, kata yang berkarat, juga kalimat yang mengendap. Menutup ruang untuk sejenak mereda sesak, menyeka keringat, atau bahkan menanya hasrat, padaku yang tengah berontak.
Kemarin pagi, saat semua telah bersiap, berjubah kehangatan yang kasat, ia datang membawa segelas tawa yang berdecak. Tawa telah teriris lamban oleh kemunafikan akal yang bertahtakan mukjizat. Akal telah menyembelih hati yang telah memasrahkan diri pada kelemahan asa yang terkesiap. Asa telah mengundurkan diri dari keyakinan yang mengobar, untuk kecewa yang meriak, cemburu yang menyayat, juga bahagia yang menguap. Melayangkan mimpi untuk seketika memulai babak, mengepakkan sayap, atau bahkan mengakhiri pukat, padaku yang tengah tergeletak.
Kemarin sore, saat semua melelah nikmat, ia mengajak senja bersajak, pada sepucuk daun yang menyelinap. Begini ia berujar :
Kepada senja :
Meratap langit seperti cerahnya
pagi yang mengawal pergi,
berjejal sesak di keramaian
panjang berujung lelah
saat birunya begitu indah
: dan kau bilang barulah itu anugerah
Meratap langit seperti anggunnya
malam yang mengakhir tiba,
berkerumun padat di kesunyian
panjang yang berujung lengang
saat hitamnya begitu tenang
: dan kau bilang barulah itu sembahyang
Meratap langit tak ubahnya
menghilangkan indahmu sendiri,
memesona dalam perbatasan
garis takdir yang membekas
saat jinggamu begitu lugas
: dan kau selalu bilang itu tak pantas
tak adakah senyum syukur atas
ronamu yang indah? ataukah
haru sesal atas
kemilaumu yang tenang
merah saja telah berserah pada
langit yang meleburkan cahaya bersama
kuning yang mematuh titah
: dan aku bilang itulah sejatinya ibadah
*menelusuri larik ketangguhan semesta yang tegar termakan teorema kehidupan.
00.45
Safar 1432 H
#untuk yang bertanya dan tertanya, melupa dan terlupa, berdoa dan terdoa, Tuhan itu selalu ada. Bukan untuk menjawab tanya tapi menghadirkan nyata, bukan untuk mengingatkan lupa tapi memberikan hidayah-Nya, bukan untuk mengabulkan semua doa tapi memberikan kesemestiannya. Untuk kita semua terima.
# Ini Notes yang fu publish di fb kemarin... ^^ Kamu pasti mengerti maksudnya, kan A...? Merindukanmu... ^^ Bismillah....
0 komentar:
Posting Komentar