Maka rasa itu tak bisa diterka. Entah itu apa. Meski tak pernah percaya kecuali kelak untuknya saja. Telah lama terjaga dengan air mata juga telinga Tuhan yang selalu siap sedia. Tuhan selalu saja datang walau untuk sekadar menyentuh hati agar segera ingat pada-Nya, menenangkan jiwa bahwa Ia yang tunggal penjamin segalanya, meyakinkan diri bahwa segala sesuatu ada waktunya.
Maka yang telah terjadi tak pernah bisa dikira. Entah kenapa. Hanya bisa bersyukur bahwa Tuhan telah menitipkannya. Lalu banyak-banyak bermunajat agar tak membuatnya murka. Memohon agar Tuhan senantiasa merelakan rasa Ikhlas dan sabar untuk bersemayam pada seonggok daging yang rentan melupa. Hanya tak mau bahwa setan memanfaatkannya untuk menggoda hal-hal yang tidak seharusnya.
Maka kata adalah makna. Entah bagaimana. Hanya berani menuangnya pada setiap larik yang bahkan tak tertata. Tak mampu orang lain cerna. Bukankah kata adalah perwakilan hati dan jiwa. Oleh karenanya hanya bisa dimengerti oleh orang yang ditujunya. Berharap Tuhan tak pernah membocorkan rahasia ini pada siapapun jua. Bahkan tak ada lagi yang mengetahuinya.
Maka keyakinan itu merupakan tanda. Entah darimana. Meski meragu saat mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Tapi Tuhan pernah berkata bahwa tidak pernah ada rasa yang tak jua berbalas rasa. Namun itu semua terhempas oleh masa lalu yang terpampang bahwa diri bukanlah seorang terpilih, kecuali hanya selintas peran tak penting yang berlalu begitu saja.
Maka cobaan itu ujian tentang setia. Entah siapa. Hanya bisa melaku sewajarnya seperti biasanya. Namun apakah tangan yang terulur itu tak boleh tersambut hanya karena penantian sebuah tanda tanya. Adilkah yang mengetuk itu teracuh oleh kepura-puraan tak mendengar suaranya. Sementara semua tanya hanya terungkap oleh lelehan air mata, pada setiap doa yang dihantar ke langit tak pernah putus-putus jua.
Maka kejelasan itu tiba. Entah kemana. Meski keterserakan telah berhasil dihimpun sebelumnya, namun kenyataan tak bisa mengalahkan penyangkalan rahasia. Hanya bersyukur untuk yang telah terjadi semua. Untuk huruf, kata, kalimat dan harmoni tarian beraneka. Untuk awan, hujan, langit, dan juga senja. Yang menghadirkan senyum atau juga ucap perlindungan dalam setiap keliru yang sengaja atau tidak
Maka kerelaan itu singgah juga. Entah dimana. Hanya menyisihkan sebuah tempat terluas agar tak bisa dimasuki hal lainnya. Meski tak pernah ada gelombang yang keluar dari bibir terbuka, bahkan sekadar pesan yang terkirim oleh tarian alirannya. Namun sedari semula sadar karena tak mau ada air mata dari Rasul-Nya. Tak perlu apa-apa, karena hati bicara.
Maka hadirlah sebuah tanya. Adakah itu dia. Adakah memang dia. Adakah bukan dia.
Setelah tanya-tanya sebelumnya.
Tak bisa kutanya pada siapapun jua. Hanya pada Tuhan pemilik semesta.
_dengan lelehan air mata_
Astagifurllah…
adakah itu kamu, A? Aku sangat takut bila ada yang mengulurkan tangannya untukku. Aku sangat takut, takut bahwa itu bukan kamu. Takut bahwa aku tidak bisa rela dan ikhlas... Astagfirullah... Mengertikah kamu?
0 komentar:
Posting Komentar