Originally created by Fu
Kita selalu rindu pada kejenakaan anak-anak yang belum memahami celoteh manja tentang cahaya. Tak seperti kita yang sering kali meributkannya sebagai rutinitas perdebatan tak bertepi. Tentang awan dan impian, tentang hujan dan penerimaan, tentang biasan dan keindahan. Seolah langit kehilangan pesonanya saat ia tak melagu biru, merenda jingga, atau menyisi pelangi.
Kita selalu kecewa saat ianya seolah tak bernyawa dalam lahapan malam yang legam, juga mendung yang tak menghujung. Dan kita hanya cukup menengahkan berkali-kali tanya, "Kenapa langit tak lagi berwarna?" Boleh jadi karena sang surya enggan mengunjungi sekotak area yang tak diamini malaikat. Atau mungkin saja rintik yang jatuh belum rela hati menepikan udara yang terhempas, juga tanah yang membekas.
Kita selalu terlupa pada kenyataan bahwa dunia bukanlah ruang sempit antara kita saja. Melebihi puncak khatulistiwa yang menyajikan rintik yang membias lalu meranggas, juga puncak sahara yang menyajikan udara yang menyengat lalu mengikat. Kita hanya berkutat antara timur dan barat, seolah utara dan selatan bukanlah kehidupan apalagi bahasan.
Kita selalu sama dalam sederet pembeda, menerka segala arah penjuru dunia. Meski peta tak lagi bersisian oleh apa yang terungkapkan, "Tidakkah kita ingin ke utara dan selatan untuk merunut sejarah yang tak berkesudahan?" Boleh jadi ketidakindahan timur dan barat karena rembulan enggan berpendar pada celah ruang tanpa senyum Tuhan. Atau mungkin karena utara dan selatan belum terjamah goresan pujangga tak bertinta.
Kita masih berjalan mencari cahaya bersamaan, "Kau ke utara dan aku ke selatan, menelisik warna dalam sebentuk aurora."
25 maret 2011
*Saat saya merasa "sebegitunya"... Untuk orang yang hatinya terpuji, terima kasih untuk semuanya...
0 komentar:
Posting Komentar