Originally created by Fu
Di atas permadani ini, menelusuri semesta tak bertepian aku menebarkannya. Butir-butir pasir yang kita ambil di suatu pantai tanpa cerita, dalam senja yang selalu kau rindu untuk direguk jingganya. Berharap satu persatu menemukan kisahnya, mengganti keterhempasan dengan bahagia yang diramu Tuhan. Kau yang selalu mengingatkanku bahwa senyum bukan hanya sewujud simbol simestris sungging di bibir, melainkan wakil dari perbincangan hati yang liris. Tersenyumlah, katamu. Meski tak beralasan, ia kan menghantarkanmu pada kebaikan. Meski tak berbalas, ia tercatat Tuhan sebagai pahala yang menderas. Dan pasir putih itu jua memahamkanku akan kekerdilan, yang tak pun menjadikannya hina tanpa kerelaan.
Di atas permadani ini, menelusuri semesta tak bertepian aku memandanginya. Lekuk-lekuk bumi yang telah tergurat, yang kita bedakan dalam beberapa warna pada kanvas tak beralas. Aku yang membuatkannya sajak dan prosa, sementara kau melukisnya dengan polesan tinta yang menjadikannya beraneka. Berpadu kita pada ayat yang mengindahkan bumi tak hingga. Tentang padi yang merunduk bumi, ilalang yang menantang alam, beringin yang menyetia usia, jua kaktus yang menyabar gurun. Kau yang memahamkanku akan kesempurnaan, ia yang mesti dipandangi dari tuas Tuhan. Seperti bumi yang tak pernah iri pada langit yang dihormati dengan tengadah, sementara ia dihargai dengan seberapa mahal injakan tanah.
Di atas permadani ini, menelusuri semesta tak bertepian aku merangkainya. Rasi-rasi bintang yang selalu menarik hati kita bertautan saling sapa, dalam keindahan rembulan yang utuh pada purnamanya dan meruncing pada sabitnya. Menunggu pola-pola yang kuat kita rajut menghias langit dalam poros, meski tak kan seindah yang telah Tuhan ukir jauh hari. Kau yang selalu merindukanku dalam celoteh malam yang mendetik lekas. Tentang galaksi kita yang terasing dengan mentari menyingsing, tentang perdebatan kita dalam kotak kecil tanpa cahaya yang merahasia. Tuhan tidak hanya di Arasy-Nya, katamu. Dia melampaui ketidakterjangkauan rasional akal kita. Dalam air matamu, sayatan lukamu, bahkan melebihi itu, Dia bersemayam di kalbumu. Dan rasi bintang itu mematriku akan kemanfaatan, yang tak pun menjadikannya sia-sia meski hanya setitik cahaya.
Di atas permadani ini, menelusuri semesta tak bertepian aku menenunnya. Buntalan awan yang sekilas rapuh, namun memadati doa-doa kita dalam peluh. Membiarkannya tergiring angin, sebelum berhenti dan menemukan tempat berlabuhnya untuk menumpah. Jangan membenci hujan, pesanmu. Karena ia yang menumbuh suburkan benih cintamu, sebab ia yang menghidupi impianmu. Akan indahnya pelangi, yang membukti bahwa Tuhan memang tidak tidur sama sekali. Kau yang memahamkanku bahwa kemarau, mentari, hujan dan pelangi tak kan mengubah gairah pagimu, seperti Tuhan yang tak pernah bosan memelihara awan-awan di hatimu.
Masihkah kita bergumul pada pertengkaran kita yang menelusuri semesta dengan jalan berbeda? Ketika permadani kita tak sama, rajutannya yang tak serupa, atau juga panjangnya yang berbeda. Sementara yang kupahami bahwa tinggi rendah kemampuannya mengangkasa, bergantung pada keyakinan hatimu mengendarainya.
Haruskah kita memberhentikan permadani kita yang masih menikmati hembusan udara? Di saat langit kita masih berdiri tegak, samudera masing menoleransi ombak, gunung-gunung masih berdamai, jua pepohonan masih membenih dalam semai. Haruskah kau dan aku hanya berjalan tanpa jelasnya tujuan, sementara di hadapan menanti tangis yang sebenar pecah dan membuncah.
"Idzaa waqo'atil waaqi'ah."
Di atas permadani ini, menelusuri semesta tak bertepian. Surga tak kan mampu kumasuki tanpamu dan Ridha Tuhan.
Bandung, 9 Ramadhan 1432 H
*Tak akan ada yang bisa menghentikanku menulis, baik itu sakit hati sekalipun. And, he always inspiring me... :)
0 komentar:
Posting Komentar