Originally created by Fu
Pada deretan huruf yang melesat, aku kulum senyum itu. Seperti rindu yang dilipat untuk masa yang setengah berlari, menyengal napas satu-satu dalam hati. Entah kapan harus aku semai dalam riuh rendah suaramu yang mengingatkanku sesuatu. Tentang kita yang sama, tentang kita yang serupa, tentang kita yang terbuka. Semua merangkum tentang kau yang memahamkanku bahwa Tuhan dan rasa adalah keniscayaan, tak seperti kau dan aku yang tak jua memahami kesyukuran.
Pada bayangan kata yang menyergap, aku selami debar itu. Seperti rindu yang dibekam pada relung gelap tak beralamat, menyesak bulir-bulir yang tersayat. Entah kapan harus aku petik dalam wujud yang semakin meranggas tumbuh meski tak pernah disirami. Ketika kita menyapa pagi, ketika kita membelai senja, ketika kita menghimpun malam. Semua membisikkan tentang kau yang merapalkan sajak bukan pada semolek kalimat, melainkan kejujuran hati meski tak segemulai pena menari.
Pada asma Tuhan yang tak menyengaja, aku pahami rasa itu. Seperti rindu yang tertahan pada kesamaran yang tak jua menyudah, hingga mengandai waktu yang tak mungkin mengalah. Entah kapan ia menghilang dari perdebatan kita yang semakin dalam menyelam. Bila hati bicara, bila akal meraba, bila asa mengada. Semua meyakinkan tentang kau yang memandang diri bukan masalah kurang dan lebih, namun mengenai cara Tuhan menilai segala dalam lirih.
Adakah engkau tahu pada apa aku mengenangmu selanjutnya?
Majalengka, 27 Juni 2011
Puisi ini saya buat untuk seseorang yang Allah hadirkan untuk saya sebagai pengantar senyuman. :) Terima kasih yaaa... ^_^
Pada deretan huruf yang melesat, aku kulum senyum itu. Seperti rindu yang dilipat untuk masa yang setengah berlari, menyengal napas satu-satu dalam hati. Entah kapan harus aku semai dalam riuh rendah suaramu yang mengingatkanku sesuatu. Tentang kita yang sama, tentang kita yang serupa, tentang kita yang terbuka. Semua merangkum tentang kau yang memahamkanku bahwa Tuhan dan rasa adalah keniscayaan, tak seperti kau dan aku yang tak jua memahami kesyukuran.
Pada bayangan kata yang menyergap, aku selami debar itu. Seperti rindu yang dibekam pada relung gelap tak beralamat, menyesak bulir-bulir yang tersayat. Entah kapan harus aku petik dalam wujud yang semakin meranggas tumbuh meski tak pernah disirami. Ketika kita menyapa pagi, ketika kita membelai senja, ketika kita menghimpun malam. Semua membisikkan tentang kau yang merapalkan sajak bukan pada semolek kalimat, melainkan kejujuran hati meski tak segemulai pena menari.
Pada asma Tuhan yang tak menyengaja, aku pahami rasa itu. Seperti rindu yang tertahan pada kesamaran yang tak jua menyudah, hingga mengandai waktu yang tak mungkin mengalah. Entah kapan ia menghilang dari perdebatan kita yang semakin dalam menyelam. Bila hati bicara, bila akal meraba, bila asa mengada. Semua meyakinkan tentang kau yang memandang diri bukan masalah kurang dan lebih, namun mengenai cara Tuhan menilai segala dalam lirih.
Adakah engkau tahu pada apa aku mengenangmu selanjutnya?
pada doa yang terpatri, juga puisi ini.
Majalengka, 27 Juni 2011
Puisi ini saya buat untuk seseorang yang Allah hadirkan untuk saya sebagai pengantar senyuman. :) Terima kasih yaaa... ^_^
0 komentar:
Posting Komentar