Originally created by Fu
Setiap sempat, aku tak pernah segan bertanya “Apakah politik itu, Kak?” Bahasan yang selalu kau tawarkan untuk kita perdebatkan bersama. Politik yang belum mau kau pelajari lebih hanya karena tak mau tergolong ahli, yang mungkin akan memaksamu menelan kemunafikan yang dulu-dulu sangat kau hindari. Sudah cukup ia hanya berjejal dengan selai dalam setangkup roti pagimu, yang sisanya bisa kau jilati tanpa malu. Setidaknya rasanya manis di ujung lidahmu, meski kau muntahkan kembali pada koran pagimu. Melulu itu, Jemu!
Setiap sempat, aku tak pernah segan bertanya “Apakah politik itu, Kak?” Ocehan yang tak pernah ketinggalan saat kau bertemu kawan sepermainan. Politik yang sudah menghambarkan apa itu risalah, alkisah, ceramah, musyawarah, hingga menghablurkan apa itu sembah menyembah dan sesembah disembah. Sudah cukup ia menggelayuti tetesan keringat pada makan siangmu, yang jatuhnya bisa kau sepuh dengan pungung tanganmu. Setidaknya lelahnya terasa nikmat, tak seperti sajian televisimu yang penuh hujat. Melulu itu, penat!
Setiap sempat, aku tak pernah segan bertanya “Apakah politik itu, Kak?”. Racauan yang bahkan tak pernah terlewat muncul dalam igauan tidurmu. Politik yang dikoar-koarkan sesiapa tak hanya aparat negara, mulai dari mahasiswa, pengusaha, pemuka agama, hingga ibu rumah tangga, yang gaungannya telah lama menyumpali telinga pengemis tua, tukang becak, hingga penjaga kuburan usia senja. Sudah cukup ia merecoki waktu istirahat malammu, yang detiknya bisa kau hitung hingga embun fajar membangunkanmu. Setidaknya kau masih sadar akan kewajibanmu memperbaiki hari, tak seperti mereka yang mungkin tengah lupa harga diri. Melulu itu, basi!
Setiap sempat, aku tak akan pernah segan bertanya “Apakah politik itu, Kak?”. Sampai kau bosan. Sampai kau tak lagi punya jawaban, kemudian kau bertutur enggan, “Jadilah bagian di dalamnya, kau akan mengerti segalanya, dan tak lagi bertanya!”
-ceracau pagi menjelang siang-
Majalengka, 15 Juni 2011
Setiap sempat, aku tak pernah segan bertanya “Apakah politik itu, Kak?” Bahasan yang selalu kau tawarkan untuk kita perdebatkan bersama. Politik yang belum mau kau pelajari lebih hanya karena tak mau tergolong ahli, yang mungkin akan memaksamu menelan kemunafikan yang dulu-dulu sangat kau hindari. Sudah cukup ia hanya berjejal dengan selai dalam setangkup roti pagimu, yang sisanya bisa kau jilati tanpa malu. Setidaknya rasanya manis di ujung lidahmu, meski kau muntahkan kembali pada koran pagimu. Melulu itu, Jemu!
Setiap sempat, aku tak pernah segan bertanya “Apakah politik itu, Kak?” Ocehan yang tak pernah ketinggalan saat kau bertemu kawan sepermainan. Politik yang sudah menghambarkan apa itu risalah, alkisah, ceramah, musyawarah, hingga menghablurkan apa itu sembah menyembah dan sesembah disembah. Sudah cukup ia menggelayuti tetesan keringat pada makan siangmu, yang jatuhnya bisa kau sepuh dengan pungung tanganmu. Setidaknya lelahnya terasa nikmat, tak seperti sajian televisimu yang penuh hujat. Melulu itu, penat!
Setiap sempat, aku tak pernah segan bertanya “Apakah politik itu, Kak?”. Racauan yang bahkan tak pernah terlewat muncul dalam igauan tidurmu. Politik yang dikoar-koarkan sesiapa tak hanya aparat negara, mulai dari mahasiswa, pengusaha, pemuka agama, hingga ibu rumah tangga, yang gaungannya telah lama menyumpali telinga pengemis tua, tukang becak, hingga penjaga kuburan usia senja. Sudah cukup ia merecoki waktu istirahat malammu, yang detiknya bisa kau hitung hingga embun fajar membangunkanmu. Setidaknya kau masih sadar akan kewajibanmu memperbaiki hari, tak seperti mereka yang mungkin tengah lupa harga diri. Melulu itu, basi!
Setiap sempat, aku tak akan pernah segan bertanya “Apakah politik itu, Kak?”. Sampai kau bosan. Sampai kau tak lagi punya jawaban, kemudian kau bertutur enggan, “Jadilah bagian di dalamnya, kau akan mengerti segalanya, dan tak lagi bertanya!”
-ceracau pagi menjelang siang-
Majalengka, 15 Juni 2011
0 komentar:
Posting Komentar