Minggu, 17 April 2011

Malam

 Originally created by Fu

Dahulu, malam disambut angin dengan sapa hangatnya, yang menghantarkan tarian anak-anak bersarung dalam canda tawa. Malam tak nampak gelap dalam sorot mata mereka yang bening, tak seperti pabrik-pabrik yang terus saja berdesing, atau juga lolongan pojok kota yang semakin melengking. Tak ada sejenak, meski sekejap.

Dahulu, malam disambut awan dengan senyum manisnya, meski membuatnya kasat mata dari tatapan anak-anak yang berdoa. Malam bukanlah teror yang menakutkan tubuh mereka yang mungil, tak seperti kertas warta berhuruf arab yang dijadikan fosil, atau juga pengerat jalanan yang merajuk dibuatkan kastil. Tak ada maaf, apalagi hak.

Kini, malam tak lagi sama. Dinginnya tak bermakna, hangatnya tak dirasa, bahkan kehadirannya tak dicinta. Dinikmat dalam selintas hambar, bahkan hingga ditelan fajar. Tanpa doa, apalagi ikhtiar.

Boleh jadi nanti, malam semakin tak sama. Laiknya sabit yang tak seistimewa purnama. Karena malam telah terbuang, mengalah terkuras siang. Karena malam telah tersingkirkan, dirindunya hanya kala ada seribu rembulan.

17 April, 2011

*Astagfirullah... T_T

Sabtu, 16 April 2011

Langkah

 Originally created by fu

 langkah yang membayang, perlahan memudar di telan petang. manakala gelap tak perlu khawatir, sebab ikrar kemarin kembali terukir. laiknya angin darat yang selalu menepati, pada nelayan yang beranjak pergi. meski awan telah disembunyikan, oleh langit yang mengusir biasan. dalam senyap, juga dingin meratap.

 rasanya tak perlu menjumlah langkah kita sendiri, entah itu ragu, terperosok, hingga bimbang yang berapa kali. kita hanya perlu menyimpan, semisal batu dalam ukiran. menggagas, dalam membekas. tentang janji tak terraih, tak ada yg perlu ditagih. kita hanya butuh cermin, meneliti janji mana yang harus dipilin. jika semua tentang mencinta, maka semua tentang diri kita.

biarlah tak usah menilai seberapa langkah yang menjejak, atau juga membekas, memudar, bahkan hanya melayang ombak. sebab ini bukan tentang jumlah yang menyudah, atau nilai yang tertuai. karena kita tak pernah paham bentuk nilai sebenarnya, yang mewujud angka serupa matematika, ataukah puji dan cela yang menggantung paradigma.

 langkah ini tentang diri kita, mengajari rela lalu meraba bahagia. dimana tulus yang terbentang, meluas tak berhingga rasa lapang. meski rindu yang tertahan, tak jua tahu terjawab kapan.

 semua tentang diri kita, kau dan aku, dan arah yang kita tuju. masihkah niat yang melagu, melangkah padaNya dengan terberat rindu?


14 April, 2011


*ini bikinnya dibantuin T'hesty, tapi fu modif lagi, biasaaaa pecinta rimaaa, heu.... ;p
kangen Aa, haha... afwan yaaaa... ^^,

Jumat, 08 April 2011

Tanpa Kecuali

Suatu hari nanti – ketika Tuhan merapatkan dua janji, lalu menjadi saksi. Tanpa kecuali. -teman fb-

saya menitikkan air mata... Allah... sabarkan saya... T_T

Lucky Man - Mocca

Dapet  kiriman lagu ini dari Anggit Paramadita, baguuus.... ;p

Lucky man-mocca

some people say you're a lucky man
to win the first prize lottery
some people say you’re a lucky man
to have a high-flying bright career

but i know they’re wrong
and i’m sure they’re wrong

 some people say you’re a lucky man
to have a lot of friends out there

some people say you’re a lucky man
to have doors open everywhere

but i know they’re wrong
you’re a very lucky man
to know such a girl like her

*Aa lucky man for me, fu lucky girl for Aa... PLAK!

Kamis, 07 April 2011

Ruang

Originally created by Fu


Ruang memenjarakan sebatang lilin di pojoknya sendirian, terbalut pekat yang siap membunuh sekejap meski perlahan. Bila saja ia tahu bahwa malaikat tak punya catatan tentangnya yang seringkali kehilangan nyawa, mungkin tak akan ada ketulusan untuk hilangnya ketakutan, jauhnya kegelapan atau sepoles kehangatan tak tertata. Untuk apa mataku terbelalak, karena tubuhku terkapar tak bergerak, dengan gigi yang gemeretak. Untuk apa lilin berpendar, karena akhirnya menagih ikrar, padaku yang tengah terlantar.


Ruang masih memamerkan kepahlawanannya, pada lilin yang tersipu dalam cahaya. Padaku ia berkata : -Nikmatilah semburatnya, meski ia terletak dua senti dari kelopak. Cumbuilah udaranya, meski ia menelusuk pori tengkuk hingga pelupuk. Gemetarkan hati, meski bibir tak mampu bergumam lagi. Ke sana, Tuhan masih bisa masuk untuk menakwil, telepati hati kalian yang saling memanggil.


Ruang pun tahu doaku, “Aku menunggu lilin mati, untuk kemilaumu yang membuka pintu.”


galaksi doa, April 2011

*Is it true, my prince? ^^,

Celoteh Malam

Allah... saya tidak tahu harus bercerita pada siapa tentang apa yang hati saya rasakan. Saya hanya bisa menuangkannya dalam sebentuk buliran-buliran ringan yang kelaur dari kelopak, sambil memunajatkan dalam beberapa tangkup doa, yang saya hantarkan dengan kegetiran hati yang tak tertahankan.

Allah... saya juga tidak tahu kenapa hal ini terjadi pada saya. Ini untuk pertama kalinya saya benar-benar membutuhkan waktu lama dalam merekonstruksi hati saya. Ampuni saya ya Allah, jikalau sesungguhnya saya sendiri yang telah mempersulit penataan hati ini.

Allah... saya sungguh lemah tak berdaya. Kondisi saat ini pun bisa saya dapatkan hanya karena kekuatan dariMu. Saya merasa terhempas dan melayang entah kemana. Seperti tidak mengenali diri saya sendiri. Tapi saya tak mau orang lain tahu kesedihan yang saya rasakan. Biarlah mereka berpikir bahwa saya baik-baik saja.

Allah... hilangkanlah segera... Amin...

Selasa, 05 April 2011

Mama said

Tiba-tiba, kemarin malam mama bertanya :

"Teteh, kejelasan penerbitan novelmu belum jelas juga. Jadi rencana kedepannya gimana? Masih tetap ingin kuliah tahun ini, atau bagaimana?"

Aku :
"Ya sudah  mah menunggu saja dulu. Sekarang jalani apa adanya saja. Ya tetap kerja di klinik."

Mama :
"Ya kalau mau nikah, sok atuh nikah dulu. Biar kamu juga lebih tenang dan bisa merencanakan ke depannya lagi."

Aku pengen banget bilang, "Teteh juga inginnya itu mah..." tapii...
Aku rasanya terlalu "gimana" kalau harus bilang sama mama, bahwa "yang kemarin" belum selesai. Terlebih, mau menikah sama siapa? *Haha... tertawa satir...

*Whoever and wherever you are, hope Allah protect you always, A...


Hujan

Assalamu'alaykum wr wb...


Apa kabar Aa? afwan jiddan udah lama beut fu ndak nyapaa.... ^^, hmm... banyak hal terjadi, banyak kejutan yang tiba-tiba saja datang, begitu menggoyahkan, buat nyesek, tapi alhamdulillah Allah selalu membuat fu menjadi lebih baik setelahnya. Kali ini, fu gak tw harus cerita apa, karena saking banyaknya yang ingin diceritakan tapi tak mampu fu tuangkan.

Sekarang, kek nya fu ingin ngelantur aja, menuangkan yang ada di otak fu saat ini. Entah kenapa fu selalu suka hujan, karena hujan berasal dari awan, fu pun suka awan, karena awan ada di langit, fu juga suka langit. Karena langit menyimpan banyak hal lain seperti mentari, rembulan, gemintang, dan semua-mua, makanya fu suka semuanya.

Tentang hujan, fu sangat suka kata-kata "...aku menunggu hujan kembali, menerbitkan pelangi..." Itu kata2 nya singkat, tapi sangat menyentuh. Dalam maknanya. Betapa hujan adalah anugerah Allah yang sangat indah. 

Aa, akankah hujan itu mengantarkan kita pada biasan warna-warna yang selalu kita perdebatkan? Akankah kau menyukainya juga. Membersamaiku menikmati setiap hal yang kusuka. Pastinya aku akan senang hati untuk bisa menemanimu menikmati setiap hal yang kau sukai. Aku akan belajar. Belajar segala hal yang berhubungan denganmu. Segala hal.



Aa, aku merindukanmu. Serindu aku pada pelangi yang tak muncul setelah hujan beberapa hari ini.

Siapa Yang Salah?

Originally created by Fu

Rujuk merujuk pasien sudah barang tentu menjadi hal yang lumrah terjadi dalam mekanisme pelayanan kesehatan. Tentunya hal ini telah menjadi rutinitas yang dianggap "biasa" bahkan "seharusnya" dilakukan, bila memang suatu instansi pelayanan kesehatan tidak mampu menangani, hingga menyerahkannya pada instansi pelayanan kesehatan yang lebih tinggi dan dianggap "mampu" menangani. Namun, dibalik dianggap "biasa"-nya rutinitas ini, telah menjadi rahasia umum bahwa rujuk merujuk ini juga menyimpan sekelumit kisah sampai banyak kontroversi.

Sebagai salah satu pelayan kesehatan masyarakat, profesi saya tentunya ikut ambil bagian dalam lingkaran sistem rujukan ini. Apalagi profesi bidan ini ditentukan sebagai elemen dasar pelayan kesehatan pertama, yang menjangkau masyarakat secara langsung, khususnya dibidang kesehatan ibu dan anak tentunya. Suatu kehormatan sekaligus beban tersendiri sebenarnya bila mengingat akan kewajiban dan tuntutan yang harus dipenuhi.

Menjadi sebuah prestasi bila kasus normal dapat tertangani dengan baik, namun menjadi aib serta problema berkelanjutan bila ada kasus yang tak dapat tertangani. Hal tersebut disebabkan beragam kemungkinan mulai dari ketidakmampuan deteksi dini, ketidakpatuhan melakukan tindakan sesuai SOP, keterlambatan merujuk, dan berbagai alasan lain. Disinilah sebenarnya sistem kolaborasi itu berfungsi. Dimana harus ada kerjasama yang baik dengan petugas kesehatan lain juga instansi pelayanan kesehatan lain. Pada kolaborasi rujukan berbagai kasus terkadang tak lepas dari ketidaksesuaian dan kesalahpahaman. Acap kali fenomena "saling menyalahkan" terjadi baik itu antara pasien dan petugas kesehatan maupun antar sesama petugas kesehatan itu sendiri.

Serba salah rasanya bila keputusan merujuk itu harus ditetapkan. Kesan ketidakmampuan dalam penanganan seringkali terlontar dari pihak pasien terhadap petugas kesehatan pertama yang menanganinya. Belum cukup sampai disitu, terkadang sindiran dan kesan “menyalahkan” oleh petugas kesehatan tempat rujukan kerap kali harus diterima oleh pihak yang merujuk pasien. Apalagi bila kegawatdaruratan obstetri dan neonatal itu menimbulkan sesuatu yang fatal. Faktanya memang instansi pelayanan kesehatan yang menyumbang AKI dan AKB paling tinggi adalah rumah sakit, dan sebagian besar penyebabnya didapat dari banyaknya kasus rujukan. Dan fenomena saling menyalahkan memang tak dapat dihindarkan, berlangsung sekaligus dengan tindakan saling menutupi kesalahan bila Audit Maternal Perinatal dilakukan.

Kalau terus bertanya siapa yang salah, akan terjadi tuding menuding yang tidak akan pernah berujung sampai kapanpun. Petugas kesehatan tempat rujukan menyalahkan petugas yang merujuk, petugas yang merujuk angkat tangan menyalahkan pasien, pasien sendiri berkilah pada keterbatasan biaya dan pengetahuan atau bahkan kembali menyalahkan petugas yang merujuk. Tak akan berakhir karena membentuk lingkaran bahkan siklus tak berkesudahan yang itu-itu saja.

Kalau terus bertanya siapa yang salah, pasien sebagai rakyat biasa sebenarnya bisa menuntut bidan atau petugas kesehatan lain atas MAL praktek di saat kegawatdaruratan terjadi. Karena faktanya, memang masih ada saja petugas kesehatan yang memanfaatkan "kebodohan" pasien akan hal medis sebagai alas melindungi diri dari ketidaksesuaian hukum dan etika profesi. Pasien juga tak bisa disalahkan sepenuhnya saat ia lebih memilih ahli pengobatan alternatif, paraji, atau bahkan dukun untuk kesembuhannya. Karena faktanya, biaya kesehatan di negara ini dianggap sudah mulai tidak masuk akal lagi.

Ironis memang, karena sering kali keharusan malah berbanding terbalik dengan kemampuan. Seperti dalam hal bersalin misalnya, masyarakat "menengah ke bawah" mati-matian berusaha ingin bisa melahirkan normal karena ketidakmampuan biaya operasi, sementara di sisi lain masyarakat "menengah ke atas" malah bersikeras ingin operasi caesar padahal masih bisa melahirkan normal. Di lain hal, saat petugas instansi pelayanan kesehatan pemerintah bekerja keras menangani pasien yang melebihi daya tampung, banyak" instansi swasta malah bersikukuh mengutamakan kepuasan pelanggan yang ditebus sesuai dengan perlembar materi yang tersanggupi.

Kalau terus bertanya siapa yang salah, petugas kesehatan sebagai abdi negara wajar menuntut akan ketidaksejahteraan dirinya. Karena bagaimanapun tenaga dan jasa harus berbanding lurus pada penghargaan yang didapat. Dimana tuntutan akan "target pencapaian" dan “berkas pelaporan” yang menumpuk, tumpang tindih dengan keharusan terlaksananya pelayanan yang memuaskan sekaligus. Sementara itu, harga yang didapat tidaklah sebanding dengan kerja yang dilakukan. Ditambah lagi aturan perundang-undangan yang dibuat se-"ideal" mungkin nyatanya tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan sebenarnya. Seperti halnya permenkes terbaru tentang wewenang praktek bidan misalnya, di sana tertuang beberapa aturan yang terkesan "maksa" tanpa mempertimbangkan kondisi yang ada. Bagaimana tidak, bila beberapa wewenang bidan akhirnya dibatasi dengan dilatarbelakangi berbagai kasus melenceng yang terlapor dilakukan bidan. Aneh memang bila pembuat kebijakan tidaklah termasuk profesi yang menjalankan kebijakan itu sendiri, karena buktinya tidak ada seorang pun "bidan" yang menjadi bagian dari pembuat kebijakan tersebut. Sementara di sisi lain program yang masih diusahakan adalah "bidan desa", tidak diimbangi oleh keberadaan “obgyn desa” misalnya. Jadi pantaslah bila kasus kegawatdaruratan yang seringkali terjadi di daerah terpencil, masih menyumbang AKI dan AKB dikarenakan ketidakterjangkauan tempat pelayanan kesehatan juga ketidakmampuan petugas dalam penanganan.

Ironis memang, karena seringkali ketidaksesuaian terbantah oleh kelumrahan. Tidaklah heran bila ekspresi datar bahkan tidak mengenakkan muncul dari petugas kesehatan dalam menyaksikan kegawatdaruratan bahkan kematian. Meskipun hal itu telah menjadi "kewajaran", tetapi sebenarnya hal tersebut menjadi ketakutan dan kegetiran tersendiri bagi mereka. Karena bila tidak dengan sikap seperti itu, siapa lagi yang rela hati menangani pasien dengan sekejap melupakan materi, ditengah tekanan akan tuntutan profesi dan penghidupan sekaligus.

Kalau terus bertanya siapa yang salah, pemerintah mungkin menjadi pangkal dari segala problematika ini. Segala aspek di luar kesehatan pun pastilah menuduh tersangka utama dari berbagai tumpahan kesalahan itu adalah pemerintah. Disamping berbagai upaya yang dilakukan pemerintah dengan memunculkan banyaknya program kesehatan, entah itu mulai dari jaminan kesehatan masyarakat kurang mampu, pemerataan tenaga kesehatan, pengadaan tunjangan kesehatan, dan berbagai program serta kebijakan lain. Namun hal itu tidak lantas menjadikan derajat kesehatan bangsa ini segera membaik, atau setidaknya bisa disejajarkan dengan negara-negara tetangga terdekat minimalnya. Selain itu, hal tersebut juga tak membuat status korupsi bidang kesehatan yang ada di peringkat ketiga (setelah pendidikan dan agama) menjadi menurun jua.

Ironis memang, di saat upaya perbaikan yang diimpikan tak bisa lepas dari ketidaksesuaian tindakan nyata. Dimana kita tak bisa menutup mata bahwa pelayanan yang berkualitas harus didukung pula oleh petugas kesehatan dan fasilitas kesehatan yang berkualitas. Untuk memenuhi itu semua, diperlukan dana yang tidak sedikit tentunya. Ya, bagaimanapun semuanya berujung pada ketersediaan biaya. Parahnya lagi, bukanlah karena pengadaan obat atau alat kesehatan yang harganya mahal semua ini terhambat, tapi justru proses pengadaan turunnya dana yang biasanya terlipat di berbagai tingkat.

Kalau terus bertanya siapa yang salah, semuanya tidak bisa dinyatakan mutlak bersalah atau tidak bersalah. Namun satu hal yang pasti, bahwa semuanya ikut bertanggungjawab dalam kelancaran pelayanan kesehatan, baik itu masyarakat, petugas kesehatan, juga pemerintah. Tidaklah hanya cukup puas dengan pencapaian 380/100.000 pada AKI dan 29/1000 pada AKB (Data tahun 2010). Meskipun faktanya memang terjadi penurunan per tahunnya, tapi seharusnya kegagalan visi Indonesia Sehat 2010 menjadi tamparan yang cukup dahsyat, sebagai bahan refleksi dan introspeksi seluruh elemen kesehatan di negara ini. Ya, setidaknya target MDG’s masih 4 tahun lagi kan?

Seharusnya kita semua tak perlu lagi berkutat pada pertanyaan "Siapa yang salah?". Lebih baik beralih pada pertanyaan "Siapa yang bergerak memperbaiki?".
Kalau bukan kita, siapa lagi?

*ah fu, kau masih kecil, beraninya kau bicara!
1 April 2011

Baca Notes Orang Tentang Jodoh

“... Orang yang salah memaksamu memilih tapi tidak memberikan pilihan. Namun, orang yang tepat membiarkanmu memilih sekalipun ia bukan pilihan ...”

Seperti halnya rizki yang harus kita cari di siang hari atau malam hari, dengan sepenuh jiwa melalui tetesan keringat juga doa. Begitu pula jodoh, Allah menghendaki kita agar berusaha mencari dan menemukan jodoh terbaik kita masing-masing.

“Jodoh adalah takdir atau ketentuan yang sekaligus berkaitan dengan peran Allah dan ikhtiar manusia”

 ”Jika kamu tidak berniat menikahi seseorang maka jangan main-main dengan hubungan”. Persiapkan diri untuk menjemput jodoh yang baik. Dengan kata Ali, jadilah ALI JIKA INGIN MENDAPATKAN FATIMAH

“Diam! Bila belum siap melangkah lebih jauh dengan seseorang cukup cintai ia dalam diam, karna diammu adalah salah satu bukti cintamu padanya. Kau ingin memuliakan dia dengan tidak mengajak menjalin hubungan yang terlarang, kau tak mau merusak kesucian dan penjagaan hatinya. Karna diammu bukti setiamu padanya. Karna mungkin saja dia telah Allah pilihkan untukmu. Dan jika memang cinta dalam diammu tidak memiliki kesempatan berbicara di dunia nyata maka biarkan ia tetap diam, karna Allah lebih tahu yang terbaik untukmu dan semoga rahmat Allah tercurah untukmu”

*saya harus sabar... Bismillah...

Peristiwa Akhir Maret

KIRIM SMS

I still believe nothing's impossible if Allah play His card...
27/3

I believe Allah can make a miracle for me as I believe Allah always give the best for me...
28/3

I always believe Allah hold every hearts of people so He can change and manage them as He want...
29/3

I believe Allah always love me although the way of His love could'nt understood by me...
30/3

Allah... tell me about a miracle of belief, show me about the strength of belief...
31/3

Menghitung hari, detik demi detik... *Krisdayanti mode on...

Lalu saya berhenti mengirimkan sms-sms itu...

SMS SAMA PAPA

Tanggal 25/3
Lgi ap?
*lgi nangis
Knapa?
*broken heart
Bi...la kuuuterkenang akan masa yg silam...aaair mata berlinang
*lagu apa itu?
Lagu patah hati, eta reff bagian pertama
*aah...gak tw...
Patah hatiku jadinya merana berputus asa, merindukan dikau yg tiada.
Namun kudoakan dikau slalu bahagia dlm hidupmu

Tanggal 27/3
Pagi,lgi apa...
*lgi nton, msh broken heart,
Hahahaha
Bli obatna,anu bagus pake zalp hatimoxazont...
*Haha dimana tuh belinya? Mw doooonkkk
Psn ka anu sok ngirim obat ka klinik tmpt krj yyg jg ada ko...
Papa sangat menghibur anaknya ini... This is first time saya berani terbuka masalah beginian, haha...

CATATAN
Tanggal 26/3
Seperti biasa saat galau dan butuh ketenangan, fu punya kebiasaan untuk buka qur'an secara acak, dan hasilnya 24 : 32...
am I ready?
Bismillah...

Insomnia akut, tiap hari harus minum CTM dulu...

Sms :
Boleh gak berharap dan berdoa sama Allah bahwa sesuatu masih bisa saja terjadi hingga merubah segalanya???
Masih ngerasa kek eureup-eureup, terus berharap saat bangun udah amnesia atau telah berstatus sebagai princess of my prince...

Tanggal 27/3
SECRET *Haha...

Tanggal 31/3
I need shoulder to cry on...
*all people leave me... I feel alone...

Kondisi saya, 31/3
Saya seperti orang linglung. Bahkan karyawan klinik pun bilang begitu. Saya seperti kehilangan gairah hidup. Saya tampak pucat seharian. Tidak mau makan sama sekali. Hanya minum air putih saja sesekali. Rasanya hidup ini sudah tidak berwarna lagi. Langit tampak kelabu setiap hari. Saya juga tidak tahu sampai kapan keadaan ini akan berlangsung. Saya tidak pernah seperti ini sebelumnya. Katanya ini tanda-tanda depresi. Tapi tidak mungkin ada orang yang depresi mengaku depresi.
Saya sedang haid. Makanya saya tidak tahu harus berbuat apa. Biasanya saya sholat atau tilawah saat kegundahan dan ketidaktenangan hati melanda. Karena hanya pada Allah saya bisa mencurahkan semuanya hingga akhirnya memperoleh ketenangan. Sebenarnya saya tidak perlu mencari Allah ada dimana. Bahkan Dia berada jauh lebih dekat dari urat nadi leher saya. Tapi saya merasa kesepian dan sendirian. Saya kacau balau dan tidak beraturan.
Saya seperti orang sakit. Atau mungkin lebih tepatnya saya sedang sakit. Seperti pesakitan yang ada di pondok tempat orang sakit. Tapi suhu tubuh saya normal, dan keadaan umum pun tampak begitu baik. Lantas kenapa saya terlihat seperti pesakitan, mungkin karena lebih tepatnya jiwa saya yang sakit. Hati saya yang sakit, nurani saya yang menjerit. Oleh karena itu tidak terlalu tampak jelas dari luar, karena hanya saya sendirilah yang mampu merasakannya.
Allah...saya masih tetap berharap amnesia atau tidak sadarkan diri dalam beberapa hari saja. Bolehkah?



SOUNDTRACK akhir Maret

Pemilik Hati by Armada n Dan by SO7
Dasar melankolis! Saya nangis denger lagu itu.... T_T

31/3 ba'da maghrib
Dipikir2, kenapa saya harus nangis?
Allah pasti ngasih pangeran shalih yang ganteng dan baik hatinya untuk saya. Yang menjadikan saya putri tercantik yang selalu dicintainya...
Pangeranku, dimanakah kau berada? Insya Allah saya siap dijemput...
*ih, malu juga yah? Hahahahaha...
Aselinya saya legaaaa sekarang... ^^,
 

BERAKHIR, INSYA ALLAH SAYA BANGKIT.... ^^,
ALLAH Sayang Fuuuu...

Saya juga hanya manusia biasa kan?


Aurora

Originally created by Fu

Kita selalu rindu pada kejenakaan anak-anak yang belum memahami celoteh manja tentang cahaya. Tak seperti kita yang sering kali meributkannya sebagai rutinitas perdebatan tak bertepi. Tentang awan dan impian, tentang hujan dan penerimaan, tentang biasan dan keindahan. Seolah langit kehilangan pesonanya saat ia tak melagu biru, merenda jingga, atau menyisi pelangi.
 
Kita selalu kecewa saat ianya seolah tak bernyawa dalam lahapan malam yang legam, juga mendung yang tak menghujung. Dan kita hanya cukup menengahkan berkali-kali tanya, "Kenapa langit tak lagi berwarna?" Boleh jadi karena sang surya enggan mengunjungi sekotak area yang tak diamini malaikat. Atau mungkin saja rintik yang jatuh belum rela hati menepikan udara yang terhempas, juga tanah yang membekas.
 
Kita selalu terlupa pada kenyataan bahwa dunia bukanlah ruang sempit antara kita saja. Melebihi puncak khatulistiwa yang menyajikan rintik yang membias lalu meranggas, juga puncak sahara yang menyajikan udara yang menyengat lalu mengikat. Kita hanya berkutat antara timur dan barat, seolah utara dan selatan bukanlah kehidupan apalagi bahasan.
 
Kita selalu sama dalam sederet pembeda, menerka segala arah penjuru dunia. Meski peta tak lagi bersisian oleh apa yang terungkapkan, "Tidakkah kita ingin ke utara dan selatan untuk merunut sejarah yang tak berkesudahan?" Boleh jadi ketidakindahan timur dan barat karena rembulan enggan berpendar pada celah ruang tanpa senyum Tuhan. Atau mungkin karena utara dan selatan belum terjamah goresan pujangga tak bertinta.
 
Kita masih berjalan mencari cahaya bersamaan, "Kau ke utara dan aku ke selatan, menelisik warna dalam sebentuk aurora."
 
25 maret 2011
 
*Saat saya merasa "sebegitunya"... Untuk orang yang hatinya terpuji, terima kasih untuk semuanya...