Jumat, 01 Juli 2011

Tas Gendong, Dong!

Originally created by Fu

Kisah pertama :

"Teteh, gimana sih, Bu Bidan kok tas-nya masih tas gendong. Mulai beli atuh tas perempuan, supaya terlihat lebih dewasa!"
"Lha, ini kan ladies series juga, Mah."

Percakapan itu terjadi kurang lebih beberapa bulan yang lalu, saat saya baru lulus kuliah. Mama saya sering mengingatkan saya untuk membeli tas "ala cewek", yang bertali satu, yang dikaitkan pada sebelah bahu, yang terlihat feminim (menurut sebagian orang), dengan beragam model dan warna. Tapi, dari dulu saya lebih suka tas gendong, bahkan saya sudah punya merk favorit setiap kali saya akan beli, seperti E***RT, E***R, O****N, P*****TI dan B******CK. Hal itu karena saya suka modelnya, warnanya, harganya, juga keawetannya. Namun, perkataan mama saya sempat mengusik pikiran saya juga. Meskipun sempat ragu, akhirnya saya menuruti juga perkataan mama saya itu, dengan mencoba membeli satu tas "ala cewek" berwarna putih. Karena baru percobaan untuk tingkat kenyamanan saya memakai tas itu, maka saya membeli yang harga standar (mungkin kwalitas kw 5, haha...). Sekali dua kali pakai, masih bisa dinyaman-nyamankan. Tapi selanjutnya saya sudah tak merasa nyaman sekali, apalagi bila bawaan saya penuh bahkan tak muat di tas itu. Selain berat, tidak nyaman, dan cepat rusak pula, dan sekarang sudah tidak saya pakai lagi. (Haha...)

Sejak kecil saya memang sudah terbiasa membeli dan memakai tas gendong untuk pergi kemana-mana. Entah itu sekolah ataupun kegiatan lain. Untuk hal ini, saya termasuk apik dalam menjaga barang, termasuk tas. Papa saya mendidik saya agar selalu memperhatikan kualitas bila membeli barang apapun. Prinsipnya adalah "Bagaimanapun harga tidak akan menipu, selagi masih mampu membeli yang berkualitas baik dan tahan lama, kenapa harus ada alasan membeli yang kualitasnya rendah dan cepat rusak." Termasuk soal tas pun saya lebih senang membeli satu yang kualitasnya baik dan bisa bertahan dipakai bertahun-tahun. Oleh karena itu dari dulu saya lebih senang membeli dan memakai tas gendong, tentunya dengan merk dan kualitas yang baik, sehingga awet sampai bertahun-tahun. Mungkin bila saya harus membeli tas "ala cewek", saya harus membeli agak banyak agar bisa matching dengan penampilan saya, karena biasanya juga tas tersebut cenderung membosankan untuk dipakai.

Jadi daripada seperti itu, rasanya saya lebih baik memakai tas gendong saja. Selain awet, nyaman pula saya memakainya.

Kisah kedua

"Bubid, mau kemana? Ke sekolah?”

Komentar itu sering kali saya terima dari karyawan klinik. Aktivitas rutin saya memang sebatas Majalengka-Bandung, alias rumah-klinik. Oleh karena itu setiap saya mau pulang dari klinik, tas yang saya pakai tentunya tas yang sama dengan saat saya datang ke klinik. Tas gendong yang berisi perlengkapan saya, yang saya kira penting dan harus saya bawa. Yang tentunya menurut saya tidak akan cukup dimasukkan pada tas "ala cewek". Bila pun ukurannya lebih besar, bagi saya tas yang talinya satu itu membuat saya tidak nyaman, dan mengganggu keseimbangan bahu. (kalau orang sunda bilang : bilih dengdek sabeulah :p)

Saat kuliah pun saya memang lebih menyukai tas gendong, meskipun saya harus rela dibilang mirip anak kecil bahkan anak TK. (Bayangkan fu sedang lari2 kecil bertas gendong sambil menyanyi, PLAK!) Ah, saya husnudzon saja bahwa itu salah satu bentuk kepedulian dan perhatian teman saya atas saya yang memang imut sekali. (PLAK!) Tas gendong lebih nyaman bagi saya, apalagi bila jadwal untuk praktek di rumah sakit. Tentunya saya harus membawa banyak barang mulai dari alat pemfis, buku laporan yang seabrek, sandal, handuk, jaket, pakaian ganti (bila perlu) dan lain-lain, yang menurut saya hanya akan muat dan lebih nyaman ditaruh dalam tas gendong.

Sampai sekarang pun saya masih lebih nyaman memakai tas gendong. Untuk orang seperti saya yang senang membawa ini itu rasanya itu tidak aneh. Apalagi kalau saya bepergian, ada benda wajib yang harus selalu saya bawa seperti netbook, mushaf, buku bacaan apapun itu, dan beberapa benda lain, yang tentunya tidak muat bila dimasukkan tas “ala cewek”.

Jadi daripada saya harus ribet membawa barang saya yang tidak muat di tas “ala cewek”, rasanya saya lebih baik memakai tas gendong saja. Selain nyaman, efektif pula.

Kisah ketiga :

"Neng, SMP atau SMA?"
"Sudah lulus, pak."
"Oh, kuliah atau nggak, dimana?"
"Sudah lulus kuliah maksudnya, pak!"
"Oh begitu, udah kerja?"
"Alhamdulillah…"

Kejadian ini baru saya alami tadi siang, tepatnya di halte Trans Metro Bandung. Saya tidak mengerti kenapa seorang bapak-bapak bahkan menganggap saya masih berkisaran SMP atau SMA. Padahal tadi saya rasa sudah tampil “sewanita” mungkin, dengan gamis bermotif bunga warna hitam-abu, kerudung hitam, sepatu putih, dan tas gendong. Ah, ya! Mungkin salah satunya karena itu, karena tas gendong yang saya pakai. Meskipun saya sebenarnya lebih husnudzon bahwa wajah saya memang imut dan awet muda (PLAK!), di luar kemungkinan dari anak SMP dan SMA zaman sekarang yang kebanyakan sudah pada boros, bergaya ala seleb (PLAK!).

Ternyata tas gendong juga dimasukkan salah satu kategori penilaian kedewasaan seseorang. Bahkan itu pula yang sering disebut beberapa teman saya saat kuliah, yang menyarankan saya untuk setidaknya mempunyai tas formal “ala cewek”, supaya terlihat lebih dewasa. Ah, menurut saya, kedewasaan seseorang (terutama wanita, red) tidak bisa dilihat dari apa yang ia pakai, seperti tas misalnya. Dewasa itu sebagian besar merangkum pola pikir, yang tentunya letaknya ada dalam isi kepala. Di sini! (meletakkan jari telunjuk di kepala!)

Tas “ala cewek”? Ah, nanti bila saya berubah pikiran! Kalau sekarang? Tas gendong, dong! :p
Meracau di elf perjalanan Bandung-Majalengka
26 Juni 2011

*saat saya sepertinya harus beli tas gendong baru karena tas gendong ungu kesayangan saya diminta paksa adik saya (katanya supaya matching dengan laptopnya yang warna ungu, hufftt…!)

0 komentar: