Kamis, 25 November 2010

Menikahi penantian, menanti pernikahan

Fu posting notes ini hari ini di facebook :

[]


Sudah sejak beberapa hari yang lalu saya ingin membahas masalah ini untuk didiskusikan dengan teman-teman semua. Bahkan draft kotor dari ketikan jemari saya telah disimpan menjadi sebuah file yang rencananya akan diposting. Tapi entah kenapa tidak jua saya lanjutkan. Rasanya belum ada inspirasi untuk melengkapi tulisan saya. Namun, akhirnya inspirasi itu datang dari celetukan mama semalam pada saya. 

“Teteh, bagaimana, sudah punya pacar?”

Seketika itu rasanya degup jantung saya berdetak lebih cepat. Petir menyambar-nyambar tepat di atas kepala saya (Bayangkan anda sedang menonton film kartun!) Napas pun serasa tidak teratur rimanya. Ini bukan hal biasa! Tidak pernah sama sekali mama membahas masalah ini sebelumnya. Kalaupun pernah saat saya bereaksi antusias pada nikah muda-nya Rifky Ballwell, mama pun hanya mencandai saya. “Teteh mau nikah muda?” / “Iya lah ma.” / “Sok atuh kapan?” / “Nanti lah kalau udah punya si putih.” Haha… Namun sekarang berbeda, serasa serius. Ah… aneh sekali. Padahal saya paling malu kalau harus membicarakan hal ini. (Iya ih, malu! Ada gararetek…) Wajah itu nampak serius, dan saya mengalihkan segalanya dengan tetap melihat pada layar notebook saya. Kenapa mama bertanya seperti ini? Apakah mungkin karena saya yang begitu antusias menjadi pager ayu  pertama kalinya. (Maklum, saya belum pernah menghadiri acara pernikahan!) Atau karena apa ya? 

Iseng-iseng saya hanya menjawab : “Ah, mama, tidak ada waktu untuk mengurusi masalah pacar, lagipula sudah sangat lama sekali Fu tidak menjalani kedekatan dengan laki-laki.” Mama memang baru mengerti mengenai kenapa saya tidak ingin pacaran setelah adanya film-film Islami marak beredar. Karena dulu mama hanya melarang saya untuk pacaran atas dasar mengutamakan dulu sekolah. Dan sekarang, sekolah saya sudah selesai. Mama pernah berkata seperti ini : “Boleh saja kamu mengenal lelaki asal kamu sudah punya penghasilan sendiri.” Well sekarang saya sudah punya penghasilan sendiri. Lalu? Sebetulnya tidak secepat ini saya kira. Mungkin saya mengira hal itu hanya salah satu cara mama untuk bilang, “Kamu sudah dewasa ya, Nak! Jangan kekanak-kanakkan lagi!” Mungkin itu juga sebagai reaksi mama atas tingkah dua adik saya yang mulai mengalihkan segala keinginan dengan meminta pada saya, “Teteh, nanti kalau gajian beliin ini ya, beliin itu ya!” Ah, ya… benar kata seorang “Teteh” bahwa ada kegembiraan tersendiri saat kita bisa membeir untuk keluarga kita. Tapi, ini baru dua bulan saja sejak saya lulus kuliah, secepat itukah?

Ah, mama, usia saya baru juga 21. Dan mama pun menikah pada usia 26 tahun. Meskipun saya sendiri pun tak mau kalau 26 tahun (Hmm… terlalu tua sepertinya untuk seorang bidan mah, haha… maksudnya?), tapi tidak semuda ini juga. (Masih mudakah kau Fu?) Jadi saya rasa saya masih muda! (Yang muda yang berkarya!) Meskipun saya adalah cucu pertama dari dua keluarga besar mama papa, saya masih sangat dianggap muda, bolehlah dibilang “anak kecil”. Ya, walau memang beberapa sepupu saya selalu “me-ne-Teh-kan” saya (alah…istilah apalagi itu Fu?), tapi rasanya jiwa kemudaan saya masih berapi-api (hiperbola…PLAK! Sorak sakali deui…Huuu!) Terlepas dari pendapat beberapa teman saya yang bilang “Kamu tuh terlihat kekanak-kanakkan namun dewasa dalam pemikiran!” (Ngapung idungnya…hehe..). Atau juga ada teman SMA saya yang bilang, “Diantara anak kelas, kamu yang berkembang jauh berbeda, kok bisa ya kamu jadi dewasa gini pemikirannya?” (Ahei..ngapung lagii…padahal idung fu kan cuma satuu… He he…) Ah, seiring berjalannya waktu, dunia berubah bukan kawan? Mungkin karena tuntutan (kata dosen saya : “Bidan itu harus terlihat dewasa, biar dipercaya pasiennya!”), lingkungan (Hwaa… teman-teman kuliah saya dengan segala kegilaannya tetaplah orang-orang yang menurut saya sangat bijak dan dewasa dalam menyikapi hidup, pejuang tertangguh yang pernah saya temui! Dahsyat pokoknya!), ataupun kebiasaan (baca novel pernikahan, buku pernikahan, bikin tulisan cinta dan pernikah! Ah… semua itu hanya untuk DEWASA! Bukan lagi seperti banyaknya tontonan di layar tipi berlabel “Bimbingan Orang Tua” Hahaha…)

Ah ya, saya harus mengatakan bahwa “saya masih 21 tahun.” Atau “saya sudah 21 tahun”? Hmm… saya rasa dua istilah itu bisa ditempatkan sesuai kebutuhan (ceilee…kebutuhaaaan…) atau juga situasi tertentu. Mama ternyata tidak pernah menolak saat saya bilang, “Ma, bolehkah saat 23?” Hah… 23??? Gilaaa… muda banget! Itu pasti yang akan dibilang oleh saudara-saudara saya khususnya dari keluarga mama. Secara memang di keluarga mama tidak ada yang menikah dibawah usia 26 tahun, kecuali pada generasi para nenek saya (generasiiii…). Secara mama saja itu adalah yang menikah duluan, dan bisa dibilang termuda. (Teope pokoknya perjuangan si mamah buat nikah! Hehe…) 23? Apa kata dunia? Tapi mama dan papa tersenyum manis, “silakan saja kalau memang sudah ada calonnya…” Jangan salah, reaksi itu terjadi karena Fu menulis novel itu. (ya, meskipun mama dan papa belum baca isinya seperti apa, karena saya selalu bilang, “Nanti aja Fu kasih bukunya, biar enakeun bacanya!” hehe…) Atau juga mungkin karena mereka yang sudah mengetahui buku apa saja yang telah menjadi bacaan anak sulungnya ini. Hmm… mereka heran lah, secara dulu Fu bukan pecinta buku, dan saat pindahan dari asrama, buku yang dibawa udah seabrek aja… hehe… (segitu mah sedikit atu ma, pa… ) Atau mungkin juga mereka suka diam-diam baca notes saya yang kebanyakan tentang Ce-I-eN-Te-A (Hahay,kamana ateuh cinta? Hheu...)

Ah, entahlah apa dibalik semua itu, tapi yang jelas kadang juga saya risih dengan komentar para pasien yang selalu saja mengarah pada soal “Bidannya masih muda, belum nikah!” (Gak boleh risih fu, itu kan doa…) Padahal ingin bilang, “Lha itu ibu tahu kalau saya masih muda, haruskah sudah berstatus menikah! Kan bidan juga ada mudanya dulu gak langsung senior, kan bidan juga ada single-nya dulu, gak langsung double [lho!]) Atau juga nasehat beberapa teteh tingkat saya yang bilang, “Kalau sudah ada niatan menikah, harus punya target fu! Misal kamu niat tahun depan, harus ikhtiar dari sekarang!” Saya hanya mengelus dada… Fiuwhhh… saya masih muda (keukeuh…)

Pernah suatu kali saya terlibat sebuah diskusi dengan salah satu teman saya yang sudah menikah, “Target nikah saya sebenarnya 23, Fu, tapi ya masalah jodoh itu kehendak ALLAH, kita gak pernah nyangka-nyangka, ya kalau jodohnya ternyata datang sekarang, dan ada restu orang tua, menikah sekarang pun bisa dan insya ALLAH dipermudah.” Teman saya menikah di usia 20 tahun. What a young age! Dan setelah lulus sebagai bidan, dia langsung hamil! Ciee…keluarga GENRE

Atau juga ada nasehat Teteh saya lagi yang bilang, “Meskipun kita tidak pernah merencanakan, kalau urusan jodoh itu unik fu, datang dengan sendirinya. Walau tadinya kita berpikir bahwa kendala orang tua yang akan jadi masalah, tapi saat ada seorang lelaki datang ke rumah dan bicara baik-baik mengenai pernikahan, orang tua juga akan secara otomatis berpikir bahwa ternyata anaknya sudah dewasa dan sudah saatnya mengalami pernikahan.” (Beeuuh…berat banget sih kata-katanya Teh… )

Ah, terlepas dari itu semua, Wallahualam… saya masih muda! Hahaha… Diserahkan pada ALLAH saja. Meskipun saya juga berpikir sih saat ada sms dari Teteh saya yang lain (Banyak banget Teteh-nya Fu, bukannya kamu anak pertama! Karena saya gak punya Kakak kandung, jadi saya ingin punya banyak Teteh. ^_^) Gini sms-nya : “Doakan ya cantik, teteh sedang dihinggapi rasa bosan dalam penantian ini!” Ah, ya… saya memang belum merasakannya, usia beliau sudah 23 (Teteh harus bilang “masih 23”, biar semangat!!! Insya ALLAH, semoga segera dipertemukan dengan pangeran berkuda putihnya ya… [mulai deh india mode on, yang nantinya ngambil selendang si wanita lalu mengajaknya naik kuda, halah..jangan diteruskan fu!!!) Semua indah pada waktunya…semua indah pada waktunya…

Euh…susah sih yah jadi para bidan muda mah, dikejar deadline! (Haha…deadline apa atuh Fu…?) Jadi ajah mulai banyak yang rarungsing… Hmm…terlepas dari banyaknya orang yang tidak terlalu suka MENANTI. Kalau saya sih sungguh sangat menikmatinya. (Ya eya laah..secara baru ajah lulus fu..fu..) Meskipun banyak yang bilang atau komentar, “Euh, si fu mah kalau nulis notes cinta-cintaan wae, monoton!” Atau “Euh, si fu mah nikah terus yang dibahas!” Padahal dalam diri mah terjadi pertengkaran hebat antara kolaborasi akal dan hati, rasionalitas dan perasaan, idealisme dan realistisme, “Siap…Gak…Siap…Gak…Siap…Gak…” Hahaha... Asal tahu saja, itu bisa jadi pelampiasan saya dalam menjalani fitrah ALLAH yang indah itu, ya dengan cara menuliskannya, menulis tentang cinta, rindu, menikah! Gak apa-apa toh, daripada saya berbuat maksiat atau mengotori hati dengan bersibuk ria suka pada seorang ikhwan, lebih baik saya menikmati penantian untuk “sang-ganteng-yang-entah-berada-dimana-sekarang!” (Ahei… istilahnya…)

ALLAH saja selalu menyabarkan saya dengan firman-Nya :

“Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antar mereka. (QS. Al-Insan : 24)

Sabar…sabar… Sabar itu indah… ^_^ ALLAH akan menjawabnya dengan senyuman…senyuman… senyuman seperti lengkung setengah lingkaran yang biasa ditulis bu Guru SD… 

Saat kemampuan menikah belum di tangan, biarlah cinta berekspresi menjadi keshalihan, perbaikan diri hari demi hari. Karena samapta janji Ilahi telah terukir di pelataran wahyu : keshalihan menjumpai keshalihan dan kebusukan menjumpai kebusukan.... _ Agar Bidadari Cemburu Padamu-Salim A. Fillah_

Menikah segera dan menikah nanti sama-sama hebatnya, bila dengan alasan syar’i dan diletakkan pada tempatnya. Menikah segera dengan keberanian untuk menyempurnakan setengah agama dan tidak mau menunda-nunda, itu sangatlah mulia. Namun menikah nanti dengan pertimbangan kesiapan perbekalan berumah tangga sambil terus menerus melakukan perbaikan diri, itu juga sama hebatnya. Satu hal yang pasti, jodoh itu adalah rahasia ALLAH dan kapan waktu yang tepatnya pun bagaimana ALLAH, oleh karena itu tugas kita adalah sabar, ikhtiar dan tawakkal. Insya ALLAH.

Jadi, bagi yang suka merasa risih dengan orang yang selalu saja membahas “nikah”, “ingin nikah”, dan “pernikahan”. Janganlah men-judge secara sepihak karena itu adalah suatu hal yang lumrah terjadi dalam usia dewasa dan menjelang dewasa -menurut teori psikologi-. Justru sebaiknya introspeksi diri, setidaknya orang itu masih ada pikiran untuk memikirkan penyempurnaan setengah agama itu, lalu sendirinya? Nah, bagi yang memang sudah “ingin” segera menikah, sudah merasa “siap” menikah (relatif lho!), sudah merasa “mampu” menikah, sudah “direstui” untuk menikah, juga yang paling utama sudah ada “calon”-nya, segeralah menikah! (Jangan lupa undang-undang Fu ya! Hmm..inginnya sih Fu yg ngundang duluan, PLAK! Ckckck… sorakin fu sakali deuii… Huuuuuu…)  

“Segera” tapi tidak “Tergesa-gesa”. Pernah suatu kali saya bertanya apa perbedaan dua kata itu pada teman saya yang telah menikah. Dengan spontan dia menjawab : “Setelah ‘siap’ menikah itu harus segera tapi tidak tergesa-gesa, kalau segera itu sudah ada calonnya tapi kalau tergesa-gesa mah inginnya saja tapi belum ada calonnya hehe…”

Kuakan menanti. Meski harus penantian panjang. Ku akan slalu setia menunggumu. Walaupun berat untukku. (Ceilee… Nikita Willy mode on! Bagus liriknya saja, lebih bagus lagi dinyanyiin sama Fu! PLAK! Sorak sakali deuii si Fu huuuu…)

Ya… Menanti itu menyenangkan!!! Sugestikan…sugestikan… ! Tatap tulisan saya! Tatap tulisan saya (Gaya Dedi Kobuzir  maklum gak bisa nulis namanya, saya mah orang Sunda, haha…) Tanamkan diri anda kalau anda lihat tulisan saya, anda akan merasa kalau menanti itu menyenangkan! (Gaya Romi Rapael waktu mau hipnotis!) PLAK!!! Doeng..Doeng…Tuing..tuing…gubraakk!!! gak usah disorak, Fu udah jatuh! Puas kalian! Haha…

Wallahualam… bish showab…

Kesalahan bukan ada pada pembaca yang keheranan dengan tulisan saya kali ini, tapi kesalahan ada pada saya yang sedang eror. Entahlah, seorang Fathir mana yang telah hinggap di pikiran saya. Gedebuk!!!

Selain peristiwa semalam, notes ini juga terinspirasi dari berbagai peristiwa lainnya, seperti :

Ada yang dulu mengirimkan notes mengenai puisi pernikahan dan merekomendasikan membaca buku pernikahan karya Ust. M. Fauzil Adhim
Ada juga yang dulu  mengirimkan sms “Ingin Nikah” dan sedang membujuk ayahnya untuk segera acc
Ada juga yang sudah rindu menikah dan selalu saja mengarah pada hal-hal “rusuh” itu
Ada juga yang sudah dapat izin menikah, sudah ingin menikah, banyak yang khitbah, tapi belum menemukan yang mampu menyentuh hati. 
Ada juga yang baru saja dikhianati dan ditinggal menikah, “Sabar ukhti geulish, inget aja kata Salim A. Fillah kalau “Apa perlunya menjanji yang tak pasti. Tak dimintapun bidadari pasti menanti. Dan lelaki langit akan datang bersama cahaya.”
Ada juga yang sudah ditawari untuk menikah, tapi masih bimbang karena ingin mewujudkan planning yang lain dulu
Ada juga yang sebentar lagi akan menikah. Barakallahu laka wa Baraka ‘alaika wa jama’a bainakuma fi khair”

Bagi yang merasa, jangan senyum-senyum gitu donk…! ^_^ Barakallah untuk semuanya… Selamat menjalani skenario terindahnya ya… 

Bila kau sekarang sedang menunggu seseorang untuk menjalani kehidupan menuju Ridha-Nya, bersabarlah dengan keindahan. Wallahi, dia tidak datang karena ketampanan, kecantikan, kepintaran ataupun kekayaan, tapi Allah-lah yg menggerakan. Jangan tergesa-gesa mengekspresikan cinta kepadanya sebelum Allah mengizinkan. Belum tentu yang kau cintai adalah yang terbaik untukmu. Simpanlah segala bentuk ungkapan & derap hati rapat-rapat, karena Allah akan menjawabnya dengan indah di saat yg tepat.

Salam cinta hangat dengan senyum termanis, (PLAK lagi!)
_Fu_

Uhibbukum fillah Ukhti… ^_^

[] selesai

Kapankah kau datang? Siapkah aku? Siapkah kamu?


0 komentar: