Selasa, 18 Januari 2011

Meyakinkan Hati bahwa Itu Kamu

Assalamu'alaykum wr wb...
Listen me, please! wanna? really? Thanks....

Sekarang saya tidak ingin bermanja untuk bercerita menggunakan sudut pandang orang pertama dengan nama panggilan saya seperti biasa, yaitu "Fu". Kini saya ingin menyebutkan diri saya sebagai "saya", karena saya tak mau kamu salah faham bahwa saya telah bermanja padamu, karena saya pun tidak pernah tahu itu adalah "kamu" atau bukan. Resapi cerita saya...

Saat banyak orang yang bertanya kenapa saya bisa sampai bertahan menjadi gadis berprinsip yang tak pernah tersentuh lelaki manapun, bahkan sampai 21 tahun yaitu selama saya hidup, saya juga sebenarnya bertanya-tanya pada diri saya sendiri. Meskipun saya akan selalu menjawabnya dengan senyuman tersipu ditambah dengan sedikit komentar yang terkandang bernada candaan, seperti "Belum dapat izin orang tua...", "Belum ada yang mau...", "Dulu nggak kepikiran, kalau sekarang belum waktunya saja kali ya....", atau jawaban-jawaban lain. Jawaban atas pertanyaan, "Kenapa belum pernah pacaran?". Saya sendiri tidak tahu kenapa, karena justru setelah jawaban-jawaban yang saya lontarkan itu, langsung mengantri berjubel pertanyaan yang mampir di benak saya. Mungkin orang yang mengerti hukum Islam “sebenarnya” tidak akan bertanya mengenai hal demikian, karena toh di dalam Islam pun memang tak diperbolehkan.

Saya akui bahwa dulu saat masa-masa sekolah, alasan saya untuk tidak mempunyai ikatan khusus dengan laki-laki seperti yang maraknya remaja saat ini lakukan, adalah karena orang tua saya yang memang tidak mengizinkan. Namun seiring perkembangan pengetahuan saya terutama karena petunjuk Allah yang terus membimbing saya, maka saya pun semakin yakin bahwa memang inilah anugerah dari Allah. Inilah jalan Allah untuk membuat saya hanya khusus untuk suami saya. Tanpa pernah menjadi “mantan” lelaki lain, bermesraan dengan lelaki lain, atau juga pernah bersentuhan dengan lelaki lain. Naudzubillahi mindzalik… Jalan Allah yang membuat orang tua saya terutama mama melarang keras menjalin ikatan khusus itu, meskipun dulu alasannya adalah karena akan mengganggu sekolah. Namun sekarang, mama bangga pada saya karena telah menemukan sendiri apa alasan ketidakbolehan itu sebenarnya. Allah menuntun saya perlahan tapi pasti, (saya menangis menulis kalimat ini). Saya bersyukur pada Allah, syukur yang tak hingga.

Dibalik kesyukuran saya, saya akui juga masih menyisakan banyak tanya. Tanya atas kebenaran niat saya untuk tidak mau menjalin hubungan dengan lelaki manapun, sebelum saya bertemu kamu yang Allah takdirkan untuk saya. Tentu saja saya tidak pernah meragukan prinsip yang sudah saya tanam kuat dalam hati dan pikiran saya. Tidak ada sesal sama sekali, karena semuanya saya lakukan memang karena Allah, insya Allah. Saya terlalu takut pada murka Allah dan berkhianat pada seseorang yang Allah hilangkan rusuk kirinya untuk saya. Wallahi, saya hanya ingin kamu adalah yang pertama memiliki saya secara kaffah.

Mungkin saya disebut aneh dan gila karena kuatnya prinsip yang saya pegang itu. Selama ini berbagai kontroversi telah saya alami, mulai dari “kecemburuan” yang terkadang hadir saat kawan-kawan lain mempunyai tempat mencurahkan isi hati meskipun belum halal, pandangan bahwa saya tidak ada yang mau, sampai pada anggapan bahwa saya terlalu pemilih. Saya juga sering bertanya pada diri saya sendiri, apakah benar niat saya untuk menemukanmu itu? Bukan karena saya yang terlalu pemilih, bukan karena saya yang terlalu banyak pertimbangan, bukan karena saya yang mungkin saja mengenyampingkan Allah dengan mengatasnamakan perasaan. Astagfirullah… Na’udzubillahi mindzalik.

Saya akui, bahwa sebagai manusia biasa, saya juga pernah dihinggapi fitrah yang Allah berikan untuk semua hamba-Nya, yaitu mengenai “rasa”. Rasa yang tidak pernah saya sebut “Cinta”, karena yang saya yakini, rasa cinta pada seorang lelaki hanya akan saya rasakan dan persembahkan untukmu kelak. Jadi bila saya merasa suka pada seseorang, itu tidak saya sebut “cinta”. Entahlah apa sebenarnya pemikiran saya, namun saya sudah bilang kan kalau saya memang orang yang aneh. Namun insya Allah keanehan saya tidak melebihi batas kesebaban karena Allah. 

Ya, silih berganti lelaki hadir menawarkan sebuah rasa pada saya. Apakah itu sejak saya masih disebut anak bawang sampai saya yang sekarang. Mereka tidak pernah menetap di hati saya. Berganti seiring waktu yang berjalan dan petunjuk Allah yang meyakinkan. Sempat hadir pertanyaan berat di benak saya, bagaimanakah saya yakin bahwa itu adalah “kamu” jikalau selalu seperti ini jadinya. Bila tidak saya yang mundur teratur, dia yang mundur teratur. Bila tidak saya yang tidak memiliki rasa, dia yang tidak memiliki rasa. Mari kita bahas satu persatu.

Bila tidak saya yang mundur teratur, dia yang mundur teratur. “Sekufu” adalah hal yang memang tak bisa dijabarkan secara jelas, tak seperti rumus matematika atau fisika. Makna “sekufu” adalah menjadi relatif tergantung bagaimana seseorang memandangnya. Saya pernah mundur teratur karena rasa “ketidakpantasan” saya untuk mengharap lebih. Dan banyak juga yang pernah mundur teratur dengan berbagai alasan, entah karena saya memang tidak pantas untuknya atau juga karena dia sendiri yang merasa tidak pantas untuk saya. Pantas dan tidak pantas itu seharusnya ditetapkan bila memang sudah ada proses yang seharusnya dijalankan sesuai syariat Islam. Jadi, yang saya yakini sekarang adalah seperti dalam tafsir surat Annuur  ayat 26, bahwa “…wanita yang baik untuk laki-laki yang baik…”. Saya memang bukan perempuan langit, oleh karena itu saya juga tidak berani untuk mengharap lelaki langit. Saya hany amengharapkan ia yang berani “bertanya” dan mau menerima saya apa dengan segala cacat dan aib diri saya.

Bila tidak saya yang tidak memiliki rasa, dia yang tidak memiliki rasa. Masalah hati adalah hal yang cukup sulit untuk diterka. Saya pernah berada dalam kondisi yang orang istilahkan “bertepuk sebelah tangan” dan “membiarkan tangan bertepuk sebelah”. Ya, picisan memang. Tapi itu nyata pernah terjadi, ya mungkin juga saat ini. Pernah membuat orang kecewa tentunya berbalas untuk merasakan kekecewaan juga, meski di lain waktu dan cerita. Saya memang aneh, saya sangat susah untuk mempunyai “rasa” sekaligus susah untuk melupa “rasa.” Mungkin karena karakter saya yang kata teman-teman setia namun perfectionis. Ah, tapi menurut saya alasan sebenarnya adalah karena memang Allah yang menggerakkan hati saya. Saya selalu bersyukur atas apa yang Allah beri, saya terima karena semua itu adalah anugerah, entah itu rasa sakit, sehat, sedih, bahagia, luka, tawa dan semuanya, itulah anugerah Allah yang yang harus saya terima dengan ikhlas dan rela hati. Insya Allah…

Jadi, sesuai dengan apa yang telah dibahas, saya mulai muncul tanya di benak saya, mengenai bagaimana saya meyakinkan hati saya bahwa suatu saat ada seorang pangeran yang datang itu adalah “kamu”. Saya tahu teorinya sesuai dengan beberapa nasehat yang masuk ke hati saya bahwa “Cukuplah Allah yang menjadi penjawab segala tanya dan penenang hati.” Seperti kata seorang kakak : “…percayalah bahwa Cinta itu datangnya dari Allah. Dan Dia akan hadirkan cinta itu untuk seseorang yang namanya sudah Allah tuliskan di Lauhul Mahfudz, dengan sangat ajaib. Jadi, persiapkan hati kita untuk hadirnya rasa yang ajaib itu.”

Saya mempunyai doa untuk memperkuat kesabaran saya ketika fitrah Allah berupa “rasa” hadir di hati saya. Doa yang sejak dulu selalu saya panjatkan pada Allah untuk tidak membuat-Nya murka atas niat dan hati saya yang sering kali keruh. Saya berdoa :

“Ya Allah… jikalau dia memanglah bukan yang engkau takdirkan untuk saya, maka musnahkan dan buang perasaan itu, agar tak semakin mengotori hati dan pikiran saya, terutama agar tak membuatMu murka karenanya. Namun, jikalau dia memang yang engkau takdirkan untuk saya, maka berikanlah kesabaran dan kekuatan dalam menghimpun keterserakan antar kami berdua. Berilah keyakinan, kesetiaaan, lalu keberanian pada hati kami berdua.”


Saya juga mempunyai doa untuk meyakinkan hati saya bahwa itu kamu. Doa yang sejak dulu saya gantungkan di atas langit dan berharap Allah mengizinkannya. Saya berdoa : 

“Ya Allah… jikalau suatu saat saya bertemu dengan ia yang kau takdirkan untuk saya, maka yakinkan saya dengan membuat hati saya tidak tertarik pada lelaki manapun dan tidak goyah karena alasan apapun. Ya Allah… yakinkan hati saya dengan membuat saya menerima apa adanya dia bukan menerima dia karena ada apanya. Ya Allah…yakinkan hati saya dengan kesiapaan, kerelaan, dan keberanian untuk saling membuka, menerima dan menutup aib pada diri kami berdua. Ya Allah… yakinkan hati saya dengan membuat saya untuk tidak mencari-cari celah kekurangannya, seperti yang selama ini saya lakukan atas dasar penjagaan sesuai apa yang memang seharusnya*. Ya Allah… yakinkan hati saya... yakinkan hati saya… yakinkan hati saya dengan keyakinan atasMu yang lebih dari segalanya, agar tak mendahului apa yang telah Engkau tata, agar tak membuatMu murka atau RasulMu menitikkan air mata, atas apa yang tidak seharusnya.”

Saya tak mau meminta segera, karena itu berarti saya telah memaksa Allah untuk merombak yang yang sudah digariskan ketetapanNya. Saya juga tak mau berdoa secepatnya, karena siapa tahu saja saya telah mengatasnamakan niatan suci padahal mengenyampingkannya karena nafsu belaka. Saya tak mau meminta segera atau secepatnya, karena itu tergesa-gesa dan seolah memaksa. Saya hanya meminta pada Allah untuk memberikan kesiapan dan kerelaan menerima, atas apa yang Allah gariskan untuk saya, agar saya senantiasa mensyukurinya.

Amin Ya Rabbal’alamin.
Terima kasih telah membaca.

-Safar 1432 H-
menjelang pukul 00.00 WIB

1 komentar:

ayume mengatakan...

makasih fu, ud share do'a na yg indah
q ud terlanjur membuka hati, meski akhirna kami pisah demi mengharapkan ridha Ilahi. tp hati yg terbuka susah skali dtutup lg...
mohon do'ana biar q bs tetap istiqomah y
pngen bs sm dia lg dlm ikatan yg halal dgn ridha Allah