Sabtu, 01 Januari 2011

Bukan Bidan Biasa

Originally created by Fu

Saya terkadang harus mengerutkan kening mendengar pendapat orang-orang (umum : red) mengenai profesi seorang Bidan. Selain banyak yang menyebut itu adalah tugas mulia, tak jarang juga yang menyebutkan kalimat “masa depan cerah” di kesan pertama mendengar kata Bidan. Kesan yang telah banyak mengundang menjamurnya sekolah-sekolah kebidanan swasta yang (maaf!) masih diragukan akreditasinya, serta membuat para orang tua berbondong-bondong memasukkan anaknya kesana. Kesan yang membuat orang menilai kami itu lebih  dewasa oleh karena dunia profesi dan prinsip “Triple H” (Head, Hand & Heart) yang diterapkan pada kami semua. Atau juga kesan yang telah membuat orang mengecap bahwa kami yang berprofesi ini akan disayang mertua (yang ini saya geli mendengarnya). Padahal, profesi ini tidak hanya sekadar hal sedangkal itu.


Pemikiran saya memang aneh. Mungkin karena saya adalah lulusan salah satu instansi pendidikan bidan yang menurut orang dinilai “berbeda” dibanding yang lainnya. Instansi yang anehnya malah memasukkan orang-orang yang jelas-jelas hampir 90% nya sama sekali tidak pernah berniat menjadi seorang bidan. Aneh memang. Terlebih angkatan saya yang mempunyai beraneka ragam jawaban saat ditanya alasan menjadi mahasiswa kebidanan. Kebanyakan karena orang tua, tidak lulus SPMB, atau bahkan ada yang iseng-iseng saja mengantar temannya yang akan mendaftar. Kami yang berekspresi datar (bahkan terkesan mempertanyakan takdir Tuhan) diantara beratus orang lainnya yang justru kecewa dan menangis karena tersisihkan. Kami adalah orang-orang yang dipaksa menjalani hal-hal yang bahkan sangat jauh diluar pemikiran manis orang-orang selama ini.


Saya masih ingat bahwa di awal perkuliahan saya dan sebagian besar teman saya yang lain harus beradaptasi mati-matian dengan dunia profesi yang akan kami geluti kedepan itu. Ya, karena profesi kami adalah profesi seumur hidup, begitulah orang bilang. Profesi yang bukan hanya berkutat dengan bagaimana caranya membantu melahirkan, karena kami bukanlah paraji yang turun temurun belajar secara otodidak. Tidak hanya sampai disitu.


Keras, kejam dan minim toleransi. Itulah yang terasa saat menjadi mahasiswa. Hanya berusaha saling menguatkan ditengah membuncahnya air mata yang kami keluarkan. Hanya berusaha menggores senyuman, dalam lika liku dunia wanita yang ternyata tidak mudah dijalankan. Terkadang mempertanyakan posisi dosen yang mendekati Tuhan, mempelajari hal-hal yang seharusnya masih di luar jangkauan, atau selalu berharap adanya toleransi untuk tuntutan kebohongan.


Ah, rasanya satu buku pun belum mampu mengungkapkan sejarah yang telah kami toreh meski hanya dalam waktu tiga tahun itu. Dan perjalanan itu tidak hanya disampai pada akhirnya kami telah dinyatakan lulus menjadi seorang bidan. Bukan hanya mahasiswa, lulus, bergelar bidan dan bekerja lalu selesailah perkara. Bahwa kami tahu mengapa sistem pendidikan itu “berbeda” dari yang lainnya. Bukan bergelut dengan perkakas atau benda, melainkan manusia yang bernyawa. Bukan hanya menjadi saksi lahirnya kehidupan, tapi juga dihadapkan dengan kematian. Bukan hanya turut bahagia akan adanya kehamilan, tapi juga kebingungan dengan banyaknya kasus kehamilan tidak diinginkan. Bukan hanya bagaimana mempromosikan alat kontrasepsi, tapi juga memahamkan apa sesungguhnya keluarga berencana yang berarti.


Profesi ini bukan hanya tampak di puskesmas, rumah sakit, rumah bersalin ataupun BPS alias Bidan Praktik swasta. Bahwa dimana saat kami telah dinyatakan lulus menjadi bidan, kami masing-masing berhak menentukan pilihan kedepan. Sesuai prinsip “Triple H” yang selalu membayang-bayangi kami, bahwa menjadi bidan itu tidak hanya harus pintar teori dan keterampilan, namun juga menyematkan hati dan perasaan.


Yang ingin mengembangkan “Head”-nya boleh lebih memilih tidak langsung bekerja untuk mempersiapkan meneruskan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Ah, waktu vakumnya pendidikan bidan selama 10 tahun dulu memang telah membuat profesi ini kecolongan dengan luar negeri yang sudah berkembang. Dimana seorang bidan tidak hanya cukup bergelar D3, namun bisa S1, S2 bahkan mencapai S3. Indonesia tentu memerlukannya, untuk membantu membangun aspek pemerintahan di bidang kesehatan khususnya. Menjadi tenaga pengajar berkualitas yang mampu melahirkan bidan-bidan berkualitas pula, menjadi perancang kebijakan kesehatan bekerjasama dengan profesi lainnya, menjadi peneliti yang mampu melahirkan evidence based yang menunjang kesejahteraan manusia.


Yang ingin mengembangkan “Hand”-nya akan lebih memilih langsung bekerja karena meyakini bahwa bila keterampilan tak diasah dan dipraktekkan akan terlupa begitu saja. Entah itu ada yang bekerja bekerja di rumah sakit yang lebih kompleks kasus-kasusnya, ada yang berhati besar untuk daftar PTT menjadi bidan desa, ada juga yang bersabar untuk menjadi asisten bidan di klinik yang 24 jam harus siaga.


Sedangkan urusan “Heart” adalah hal mutlak yang harus selalu kami bawa di manapun kami berada dan apapun pilihannya. Bahwa harus selalu ada kelapangan hati untuk menjalani segala tantangan, kesungguhan hati untuk melakoni sebuah peran, serta keikhlasan hati untuk menerima segala hambatan dan cobaan. Sekalipun pada yang memilih tidak bekerja dulu untuk menikah dan merencanakan kehamilan.


Apapun pilihannya, dimana pun tempat kami bekerja, kami hanya berpikir bahwa kami mempunyai beban dan tanggung jawab yang sama. Menjadi seorang bidan yang harus mampu bekerja sama dengan profesi lainnya mulai dari dokter, perawat, atau karyawan lainnya. Menjadi seorang bidan yang selalu mengkombinasikan teori bersama keterampilan dan hatinya. Menjadi seorang bidan yang tidak hanya pandai bicara namun mampu mengaplikasikannya. Menjadi seorang bidan yang meskipun kecil namun berharap berkontribusi dalam menurunkan angka kematian ibu, bayi dan balita.


Entah itu dengan segala tantangan yang menunggu kami di depan mata. Minimnya kepercayaan karena usia kami yang masih muda, segala lika-liku yang baru kami ketahui di dunia kerja, ataupun kebosanan dan keletihan yang sering kali mendera. Meskipun terkadang berbagai perasaan menghampiri, seperti keraguan akan pilihan yang telah diputuskan,  pemikiran akan keburaman dan ketidakjelasan rencana yang diinginkan, sampai pada kegundahan yang mempertanyakan takdir Tuhan. Hanya berharap selalu berpikir positif dan yakin bahwa segala apapun yang Allah berikan itu adalah yang terbaik. Jalan setiap orang berbeda dan insya Allah yang terindah adalah skenario-Nya, karena Allah adalah sebaik-baik pemberi pelajaran yang luar biasa.


Kami semua memulai dari nol, dengan penghasilan yang tentunya berbeda, mungkin tidak terlalu seberapa. Jadi, persoalannya bukanlah soal masa depan ataupun harta. Namun, bagaimana dedikasi kami ini selalu diliputi kesyukuran, kesabaran serta keikhlasan. Bagaimana kami harus selalu tersenyum dalam keletihan, mengganti kejenuhan dengan kesabaran, serta menghapus segala keluhan dengan rela berkorban. Untuk urusan kecerahan masa depan, hanya ALLAH lah yang menjaminnya, kami hanya bisa memikirkan, merencanakan dan menjalankan, untuk selanjutnya biarlah ALLAH yang memutuskan, karena keridhaan-Nya insya ALLAH lebih kami rindukan.




Kami memang orang biasa namun bukan bidan biasa. Yang bekerja dengan cinta, menjadi partner para ibu dan wanita, serta memahami, memaknai dan mengaplikasikan semua peran wanita. Menjadi istri, ibu, sekaligus bidan yang dapat berkontribusi untuk bangsa meskipun tak seberapa.


Boleh kan kalau kami ini disebut BUKAN BIDAN BIASA. (^_^)





_dalam lebatnya hujan_

Awal tahun 2011 Masehi

_Fu_


NB :


Alhamdulillah, saya tidak pernah menyesal menjadi seorang bidan. Bahkan malu karena pernah “menggugat” Allah akan takdir ini. Beribu terima kasih pada mama papa yang telah memaksa saya memasuki perkuliahan kebidanan. Kalau tidak begitu mungkin tidak akan ada saya yang seperti sekarang, meski diliputi kekurangan dan keterbatasan.


Untuk yang sedang bertanya-tanya pada Allah, yakinlah Allah itu baiiiiiiiiiiiiikkkkk banget. Rasa “sulit” itu memang wajar datang, tapi bukankah janji Allah itu pasti bahwa “sesudah kesulitan ada kemudahan. sesudah kesulitan ada kemudahan.” Ini jalan terbaik yang Allah berikan, untuk memberikan pelajaran, pemahaman, juga pengalaman. Semoga menjadi pribadi yang lebih baik setiap harinya. Amin.


Dipersilakan komentarnya… ^^

*Maukah kau menerimaku apa adanya??? MUSM, a...


0 komentar: